Pejuang Melawan Serdadu Belanda di Benteng Pertahanan Guluk-Guluk

Mamira.ID – Saat masa penjajahan kolonial, kondisi Madura juga tak luput dari serangan para penjajah. Kala itu, kondisi rakyat sangat memprihatinkan. Para penjajah merampas hasil jerih payah mereka, berupa harta dan hasil pertanian, serta memperkosa hak kemerdekaan rakyat Indonesia.

Setelah Jepang memberlakukan sistem kerja paksa kepada rakyat Indonesia untuk membuat bandara, gedung, jalan, dan memenuhi kebutuhan Jepang, atau yang dikenal dengan romusha, kemudian Belanda datang lagi bersama antek-antek sekutunya, sehingga membuat rakyat semakin terpuruk dan banyak korban berjatuhan.

Para pejuang bangsa mengobarkan semangat juang yang tinggi guna mempertahankan hak kemerdekaan rakyat dan Negara Republik Indonesia. Barisan perjuangan yang terdiri atas tentara nasional, dibantu barisan para laskar, dan rakyat yang sangat gigih dengan gagah berani menghadapi serangan agresi militer II. Dengan penuh semangat, beberapa elemen tersebut berusaha menghadang kedatangan para penjajah dan sekutunya.

Serdadu Belanda mulai masuk ke Kota Sampang dan Pamekasan. Sesampainya di Pamekasan, Belanda mendapat sambutan kedatangan berupa perlawanan dari para pejuang. Namun, Pamekasan berhasil mereka bumi hanguskan. Setelah penyerangan benteng pertahanan Kolpajung oleh para penjajah pada tanggal 22 Agustus 1945, Belanda bergerak ke arah timur dari kota yang sekarang berjuluk Kota Gerbang Salam. Rombongan pasukan tentara Belanda  bergerak melakukan  perjalanan darat dengan konvoi mobil brigade menuju Kota Sumenep dengan terus melancarkan serangan sekaligus menguasai Sumenep sebagai wilayah jajahannya.

Baca Juga:  Bindara Ibrahim: Saudara Seayah Kangjeng Tumenggung Tirtanegara

Tentara Belanda yang pada saat itu telah menguasai wilayah Desa Cenlecen, Kecamatan Pakong, Pamekasan, kemudian mulai mengadakan serangan ke wilayah pertahanan Guluk-guluk, tepatnya di Desa Bakeong, Kecamatan Guluk-guluk. Pada tanggal 5 Oktober 1945, tentara RI Pimpinan Komandan Ajun Inspektur Polisi, Raden Abd. Kadir yang dibantu Brada Muhammad Hosen dan Brada Ponadi bersama para prajurit yang lain berusaha menghadang konvoi mobil brigade Belanda.

Di sana, mereka dibantu Laskar Sabilillah yang dipimpin oleh Kiai Abdullah Sajjad, terdiri dari rakyat, para kiai, pemuda dan santri yang semangat perjuangannya sangat kuat. Selain membuat pertahanan, Kiai Abdullah Sajjad juga mengirim pasukan ke daerah Cenlecen guna melawan dan memperlambat laju pasukan Belanda ke arah Sumenep.

Pasukan Laskar mampu bertahan selama tujuh hari. Namun kemudian mundur ke wilayah Guluk-guluk karena sudah tidak mampu terus menghadang perlawanan musuh. Mundurnya pasukan Laskar bukan tanpa sebab, mereka juga mengkhawatirkan kondisi Guluk-guluk yang saat itu dijadikan sebagai markas penyusunan taktik dan strategi pasukan oleh Kiai Abdullah Sajjad.

Baca Juga:  Nyai Talaga, Saudara Kandung Bindara Saot

Dalam perjalanan menuju Sumenep, tentara Belanda membagi rute perjalanan menjadi dua. Pertama, jalur jalan utara  yakni Pasar Pakong menuju Desa Jaddur, Batuampar, Payudan Nangger, Daleman Ganding, dan menuju Manding. Kedua, jalur jalan tengah yakni Desa Bandungan, Cenlecen, Guluk-guluk, dan menuju Manding. Manding dipilih oleh Belanda bukan tanpa alasan, karena di sanalah mereka berkumpul untuk menyusun rencana stategi perang untuk menyerang Kota Sumenep.

Pada minggu kedua bulan November tahun 1947, pasukan Belanda melakukan konvoi besar-besaran menuju Sumenep. Mereka membawa tank, truk, panser, dan peralatan perang lainnya. Tak hanya itu, para penjajah itu juga dilindungi beberapa pesawat tempur sambil melepaskan tembakan ke semua arah.

“Memang, selain jalur darat, para tentara Belanda juga melakukan serangan udara sebanyak tujuh pesawat tempur,” ujar R. B. Jakfar Shadiq, salah satu pemerhati sejarah Sumenep.

Para pejuang berusaha memperlambat laju perjalanan konvoi tentara Belanda. Jembatan Sungai Dungdang jadi sasaran pejuang untuk dirusak dan diruntuhkan. Hal ini bertujuan untuk memperlambat perjalanan mereka. Namun, karena tentara Belanda sudah membawa sarana lengkap, maka dengan mudah melalui rintangan tersebut.

Baca Juga:  Mengenal Pangeran Bukabu dan Dua Putranya yang Tinggalkan Tembok Keraton
Ket.Foto: Tugu kemerdekaan yang terletak samping puskesmas kemmisan Guluk-guluk, tak jauh dari tempat Kiai Abdullah Sajjad dieksekusi oleh serdadu Belanda. (Mamira.ID)

Pertempuran pun mulai bergejolak, para pejuang pertahanan Guluk-guluk berjuang mati-matian melawan serbuan tentara penjajah Belanda. Tak ketinggalan, rakyat pun ikut berjuang dengan senjata seadanya seperti bambu runcing, golok, keris,celurit, dan lain sebagainya. Para Laskar dan pemimpinnya dengan gagah berani menghadang truk dan tank-tank tentara Belanda.

Hanya sebuah semangat juang yang tinggi telah melekat di dada guna mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Meski pada akhirnya tentara Belanda mampu memukul mundur para pejuang dan menguasai wilayah Sumenep. Banyak korban yang berjatuhan, baik di pihak Belanda maupun Pejuang Republik Indonesia.

“Brada Muhammad Hosen dan Brada Ponadi gugur dalam penyerangan pertahanan Guluk-Guluk, dan jenazahnya dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kota Bangkalan. Sementara, Pemimpin Laskar Sabilillah Guluk-guluk, Kiai Abdullah Sajjad gugur di depan regu tembak serdadu Belanda, beliau dimakamkan di kawasan Pesantren Annuqayah yang saat ini dikenal dengan Asta Laok,” pungkas Jakfar.

Jangan lupa tonton juga video Mamira.ID di youtube:

Penulis: Abd Warits

Editor: Mamira.ID