Mamira. ID – Lembaran sejarah Pasongsongan sangat erat kaitannya dengan Syekh Ali Akbar alias Kiai Syamsul Arifin, sosok Wali Agung yang masyhur di belahan bumi Pantura, Sumenep, Madura. Pasongsongan dengan sang Wali Allah ibarat dua sisi mata uang logam yang tak bisa dipisahkan.
Sayyid Ali Akbar merupakan tokoh awal dalam peradaban Islam di Pasongsongan. Beliau adalah putra dari Kiai Kholid atau Kiai Talang Takong, cucu dari Kiai Ali Talang Parongpong, seorang wali yang cukup masyhur dan melahirkan ulama-ulama besar di tanah Parongpong dan Sumenep pada umumnya.
Sayyid Ali Akbar telah mendedikasikan seluruh hidupnya untuk masyarakat Pasongsongan dan Kerajaan Sumenep. Sang Wali mulai menyebarkan Islam, khususnya di belataran bumi persada. Berkat perjuangan beliau membumikan ajaran agama Islam di sana, Pasongsongan akhirnya mencapai puncak keemasannya.
Jika ditarik secara nasab, Syekh Ali Akbar dengan Penguasa Sumenep, Kangjeng Tumenggung Tirtanegara Bindara Saot masih ada hubungan kekerabatan. Sebab, Syekh Ali Akbar masih paman sepupu sang Nata. Jadi, maklum jika daerah Pasongsongan dahulu sering dikunjungi oleh Raja Sumenep, karena keduanya masih punya ikatan famili. Sang Wali dan Sang Raja bersambung garis nasab pada Kiai Ali Talang Parongpong.
“Nama Pasongsongan berasal dari kata dasar ‘songsong’ yang bermakna sambut. Setiap kali Kangjeng Tumenggung Tirtanegara Bindara Saot berkunjung kepada Syekh Ali Akbar, sang Raja senantiasa disambut hormat oleh beliau. Begitu pula dengan sang Nata yang selalu menghormati sekaligus mengagungkan Syekh Ali Akbar. Karena selain masih kerabat raja, beliau masih termasuk guru dari Bindara Saot. Hingga tempat tinggal Syekh Ali Akbar dinamakan Pasongsongan, suatu bentuk kepedulian sang Nata demi kemakmuran Negeri Songenep,” ujar R. B. Nurul Hidayat salah satu pemerhati sejarah muda asli Sumenep.
Kedekatan Syekh Ali Akbar dengan Bindara Saot dilatarbelakangi oleh kesetiaan Syekh Ali Akbar sebagai rakyat kepada rajanya, atau Penguasa Sumenep yang berkuasa antara tahun 1750 sampai 1762 Masehi itu. Selain pada keduanya mengalir darah yang sama, mereka juga saling hormat dan mengagungkan. Semboyan hidup orang Madura : “Bappa’, Babu’, Guru, Rato” sudah tertanam dan mengakar kuat sejak dulu dan masih bertahan hingga sekarang ini.
Syekh Ali Akbar merupakan sosok orang yang ahli ibadah. Beliau tidak pernah mengharapkan pangkat, kedudukan, serta gelar dari buah perjuangannya. Segala perjuangannya semata-mata karena Allah SWT guna proses penyebaran agama Islam dan perkembangannya. Selain itu, sosok Syekh Ali Akbar tergolong orang yang wali dan menjaga dirinya selalu suci dari hadas atau tidak pernah batal wudu.
Bukti sejarah dapat kita saksikan sebagai salah satu bentuk kebesaran serta keagungan dari Syekh Ali Akbar. Sebuah prasasti kuna bertuliskan Arab Pegon terlukis rapi pada pintu asta yang terletak di Kampung Pakotan, Desa Pasongsongan, Kecamatan Pasongsongan, Kabupaten Sumenep. Besar kemungkinan, asta Syekh Ali Akbar dulunya dibangun oleh Penguasa Sumenep, sebab masih tergolong ada hubungan kekerabatan.
Arab Pegon itu berbunyi : Hada Wafati AsSyekh Al Arif Al Alim Al Kabir Al Mujahid Attawfi’ fi Qaryati Songsongi min lailatir rabi’ fi syahri Jumadil Akhir Hilal Arbata asyara fi sanata alfun indahu Hijriyah Nabi Shallahu alaihi wa sallam. Alif-Ya-Ra-Ghin
Terjemahannya: Ini wafatnya Syekh, yang bijaksana, yang berilmu, yang agung, yang berjuang, yang menetap di Desa Songsongan atau Pasongsongan. Pada malam Rabu tanggal 14 Jumadil Akhir, tahun 1000 Hijiriyah. Alif, Ya, Ra dan Ghin merupakan tahun hitungan Hijaiyah yang bermakna tahun 1211 Hijriyah.
“Asta Syekh Ali Akbar pada saat ini telah dilakukan renovasi dengan pemasangan cungkup sebagai tempat para peziarah serta pemasangan keramik pada jirat makam atau asta. Kondisi keasliannya hanya terdapat nisan dan sebuah prasasti kuna pada pintu cungkup maqbarah beliau,” tutup Nurul.
Jangan lupa tonton juga video Mamira.ID di youtube:
Mamira.ID