Dibuat Oleh Orang Kangean, Kapal Borobudur Berhasil Mengarungi Lautan Hingga ke Afrika

MAMIRA.ID – Tahu gak, di balik keindahan ukiran relief Candi Borobudur, terpatri jejak sejarah kejayaan maritim Nusantara. Relief kapal layar yang terpahat di dinding candi Buddha terbesar di dunia itu, menjadi inspirasi lahirnya sebuah kapal kayu yang dibangun kembali lebih dari 1.200 tahun kemudian oleh tangan-tangan dingin dari nusa Kangean, Sumenep, Madura.

Adalah Philip Beale, salah seorang mantan perwira Angkatan Laut Kerajaan Inggris sekaligus penulis buku Sailing Close to the Wind yang tergerak untuk memprakarsai proyek ambisius itu. Beale terpesona oleh relief kapal Borobudur sejak kunjungannya ke Indonesia. Lantas, menyandang gelar BA Honours di bidang Politik dari University of Hull yang memulai karirnya di Royal Navy ini menggandeng Assad Abdullah al-Madani, pembuat kapal tradisional dari Pulau Kangean. Assad dikenal mewarisi keahlian membuat perahu kayu secara turun-temurun.

Baca Juga:  Kiai Baroya: Penerus Estafet Perjuangan Kiai Faqih

Dengan metode tradisional yang telah diwariskan leluhur, Assad membangun kapal dari kayu tanpa menggunakan satu pun paku logam—melainkan dengan pasak dan teknik sambungan khas Nusantara. Kapal ini menjadi rekonstruksi hidup dari kapal yang tergambar di relief Borobudur, sekaligus simbol kejayaan pelaut-pelaut Nusantara yang pernah mengarungi Samudra Hindia.

Pada Agustus 2003, kapal yang diberi nama Samudra Raksa—yang berarti “Penjaga Lautan”—diluncurkan sebagai bagian dari ekspedisi menyusuri jalur perdagangan kuno (Cinnamon Route), menghubungkan Indonesia dengan India, Timur Tengah, hingga Afrika Timur. Ekspedisi ini membuktikan bahwa pelaut Nusantara telah lama menjelajahi dunia sebelum bangsa Eropa mengenal samudra.

Kontribusi masyarakat Pulau Kangean, khususnya Assad Abdullah, dalam proyek ini adalah bukti nyata bahwa kearifan lokal dan warisan budaya bangsa tetap hidup dan relevan. Dari relief batu di jantung Jawa, hingga bengkel kayu di pesisir Kangean, sejarah kembali berlayar—meninggalkan jejak baru di samudra, dan mengangkat kembali identitas Indonesia sebagai bangsa maritim.

Baca Juga:  Hidup dari Manisnya Gula Merah