MAMIRA.ID, Madura – Di suatu masa, tepatnya beberapa saat pasca invasi Mataram ke Madura, wilayah Sumenep dan Pamekasan pernah menjadi satu. Meski dalam prakteknya, kedua wilayah memiliki sistem pemerintahan tersendiri.
Namun sebagaimana yang disebut oleh Zainalfattah dalam bukunya, Penguasa Pamekasan di suatu masa berada di bawah Sumenep.
Peristiwa tersebut dimulai sejak Pangeran Gatutkaca alias Adikoro I menjadi menantu Pangeran Yudanegara, Adipati Sumenep yang memerintah 1648-1672 M.
Gatutkaca merupakan satu-satunya pewaris Panembahan Ronggosukowati (1530-1616) yang masih hidup pasca peristiwa gugurnya hampir seluruh bangsawan Pamekasan.
Tidak dijelaskan bagaimana kisah selamatnya putra Pangeran Purboyo dengan gadis dari desa Plakpak itu.
Sejarah Madura menyebut, semua penguasanya gugur dalam invasi Mataram. Di barat, Raden Koro. Ia menyisakan penerus bernama Raden Praseno, yang di kemudian hari dikenal sebagai Pangeran Adipati Cakraningrat I (1624-1648).
Di ujung timur Nusa Garam, Raden Abdullah alias Pangeran Cakranegara I juga gugur. Satu-satunya pewaris beliau bernama Raden Bugan, kelak kembali ke Sumenep dan naik tahta dengan gelar Pangeran Yudanegara. Gelar lainnya ialah Pangeran Macan Ulung.
Baik Raden Bugan maupun Raden Koro memiliki kisah bagaimana diri keduanya lolos dari “pemusnahan trah Madura” oleh Mataram itu.
Raden Bugan diselamatkan pengikut ayahnya dan dibawa ke Cirebon. Di kemudian hari ia mendapat perhatian Mataram dan berhasil menaklukkan Blambangan bersama Kiai Kwanyar (Pangeran Purnajiwa). Di kemudian hari Raden Bugan merupakan Penguasa Madura yang melepaskan diri dari dari hegemoni Mataram. Raja yang arif itu didukung dan sekaligus dibantu Pangeran Trunajaya, Panembahan Maduretna yang pernah mengalahkan Mataram dan membuat rajanya, Amangkurat I mengungsi dan wafat di pengungsiannya.
Sementara Raden Praseno malah disukai Sultan Mataram. Diasuh dan dijadikannya saudara ipar—dalam sumber lain menantu. Praseno yang kelak dikenal sebagai Pangeran Cakraningrat I dari Sampang itu wafat dan dimakamkan Imogiri, dekat dengan Sultan Agung.
Tinggal kisah Gatutkaca. Ke mana ia pasca invasi? Yang jelas tahta Pamekasan tetap jatuh kepada Pangeran Ario Adikoro I tersebut.
Keris Se Jimat
Pangeran Gatutkaca dikenal sebagai sosok yang bijaksana. Beliau juga merupakan raja yang gagah perkasa sebagaimana Gatutkaca dalam kisah pewayangan.
Pangeran Adikoro I ini dikenal dengan senjata pusakanya yang kesohor akan kesaktiannya. Yaitu keris pusaka Se Jimat.
Sebagaimana para raja pada umumnya, Adikoro I juga memiliki beberapa selir (garwa ampian) di samping isteri utama (garwa parameswari atau permaisuri).
Dari permaisuri lahir di antaranya Pangeran Rama (1678-1709). Ibunya merupakan putri Raja Sumenep, Yudanegara yang disebut di muka.
Sedang dari seorang selirnya, Adikoro I punya seorang anak bernama Raden Asral.
Asral dikenal mirip wajahnya dengan Gatutkaca alias Adikoro I. Sehingga oleh ayahnya digelari Gatutkaca II.
Asral dibesarkan di luar tembok keraton. Ibunya merupakan selir yang tidak dibawa ke istana. Namun oleh Adikoro I ternyata si selir dititipi Keris Se Jimat. Dan pesannya agar diberikan jika dari rahim selir itu lahir anak Adikoro I.
Setelah agak dewasa, Asral diperintah ibunya agar menghadap ayahnya dan meminta pengakuan. Karena Asral membawa keris Se Jimat, ditambah wajahnya yang bagaikan cerminan Adikoro I, dirinya langsung didudukkan di kursi singgasana.
Gatutkaca sangat menyukainya. Dan di hadapan banyak orang mengatakan bahwa siapapun yang memiliki keris Se Jimat di kemudian hari, maka dia akan menjadi penggantinya dan berhak atas tahta Pamekasan.
Setelah Gatutkaca I alias Adikoro I mangkat pada 1708, maka diangkatlah Raden Tumenggung Joyonegoro (putra Adikoro I yang kedua, yang lahir dari permaisuri) sebagai penggantinya.
Namun Joyonegoro rupanya tidak tenang karena Keris Se Jimat berada di tangan adik seayahnya, yaitu Raden Asral.
Joyonegoro pun berusaha merebut keris tersebut. Yang tentu saja mendapat perlawanan dari Asral. Puncaknya Joyonegoro terbunuh dalam sebuah insiden.
Asral didukung oleh mayoritas keluarga Pamekasan, dan lantas naik tahta dengan gelar Raden Tumenggung Ario Adikoro II (1708-1737).
Sementara putra mahkota atau putra tertua Adikoro I, yaitu Pangeran Rama sudah menduduki tahta Sumenep, warisan dari kakek dari pihak ibunya.
Pangeran Rama pun rupanya tak terlalu peduli dengan sengketa di Pamekasan. Namun Pangeran Rama cukup bijak dengan tidak mengganggu pemerintahan Asral, kendati Joyonegoro adalah saudara seayah seibunya.
Sengketa Berujung Bersatu
Setelah Pangeran Rama di Sumenep wafat, tahta keraton Sumenep dilanjutkan oleh menantunya, yaitu Pangeran Wiromenggolo (1709-1721).
Sepeninggal Wiromenggolo, tahta diberikan pada Raden Ahmad alias Pangeran Jimat (1721-1744), anak laki-laki Pangeran Rama yang telah dewasa.
Pangeran Jimat dikenal alim, sakti dan linuih. Namun juga keras, tegas, dan bercita-cita meluaskan wilayah Sumenep.
Di masanya, duduk pula seorang tokoh alim dan bijaksana bernama Raden Demang Wongsonegoro, yang berkedudukan sebagai Patih di Sumenep.
Di masa Pangeran Jimat, Pamekasan dan wilayah Besuki beserta sekitarnya berada di bawah taklukan Sumenep. Di masa ini juga terjadi penyebaran bibit orang-orang Madura di kawasan yang kelak bernama Tapal Kuda itu.
Sementara kisah penaklukan Pamekasan tak bisa lepas dari sengketa Keris Se Jimat yang ada pada Adikoro II (Asral).
Mengingat bahwa kedudukan ayahnya selaku anak tertua Adikoro I, Pangeran Jimat lantas dengan baik-baik meminta Adikoro II agar menyerahkan keris tersebut pada dirinya.
Tentu saja Adikoro II keberatan. Bukan soal kerisnya, namun berkaitan dengan wasiat Adikoro I, bahwa kuasa Pamekasan bergantung pada siapa pemilik Keris Se Jimat.
Karena Adikoro II menolak, akhirnya Pangeran Jimat menantang pamannya itu berperang. Meski sadar bukan tandingan keponakannya itu, Adikoro II menerima dengan terpaksa.
Singkat cerita, Adikoro II kalah. Keris Se Jimat pun diserahkan kepada Pangeran Jimat. Sehingga secara de jure, bermakna penyerahan kekuasaan atas Pamekasan.
Adikoro II lantas turun tahta pada 1737 dan mengaji di Ampel hingga wafat. Beliau dikenal dengan gelar anumertanya, Adikoro Seding Ampel.
Sebagai pengganti Adikoro II, Pangeran Jimat menunjuk keponakannya, yaitu anak Pangeran Wiromenggolo, yang bernama Raden Baskoro sebagai Adipati Pamekasan dengan gelar Raden Tumenggung Ario Adikoro III (1737-1743).
Adikoro II meninggalkan beberapa anak, salah satunya bernama Raden Ismail. Ismail ini kelak diangkat menjadi Adipati Pamekasan bergelar Raden Tumenggung Ario Adikoro IV. Beliau wafat dalam peristiwa Ke’ Lesap di Bulangan pada 1750 M.