MAMIRA.ID, Madura – Sejak kurun masa tertentu, peradaban Madura digerakkan oleh tokoh-tokoh yang kebanyakan berasal dari luar pulau.
Tokoh-tokoh ini bersusur galur atau mengakar pada keluarga tertentu pula. Salah satunya dari keluarga Giri Kedaton atau Kerajaan Giri di bumi Gresik.
Giri Kedaton merupakan pusat dakwah dan penyebaran agama Islam yang dimotori oleh Raden Paku alias Suhunan Giri yang bergelar Prabu Satmata Tanpasama.
Sunan Giri merupakan tokoh populer di antara Wali Sembilan di tanah Jawa. Beliau bahkan diakui sebagai pentahbis para Raja Islam di Nusantara.
Kawasan Giri yang berasal dari Pesantren Giri ini berkembang menjadi sebuah sistem pemerintahan tersendiri. Meski diketahui, Wali Sanga ikut mendirikan kesultanan Demak, sebagai sistem pemerintahan pasca runtuhnya Majapahit.
Pesantren Giri awalnya didirikan oleh Raden Paku atau Sayyid Ainul Yaqin pada tahun 1481. Daerah Giri merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit. Seiiring melemahnya Majapahit, banyak daerah-daerah bagiannya yang melepaskan diri. Sementara Giri awalnya bahkan diberikan status otonom oleh Majapahit, sebelum kemudian melepaskan diri pula.
Pesantren Giri selanjutnya dikenal dengan sebutan Giri Kedaton, Kedatuan Giri, atau Kerajaan Giri sesuai sebutan dalam Babad ing Gresik. Sunan Giri merupakan pendiri sekaligus raja pertama di Giri, yang memerintah sejak 1487-1506.
Beliau dikenal sebagai Raja Pandita atau Raja Ulama. Dua sejarawan asal Belanda, H.J. de Graaf dan Samuel Wiselius, juga menyebut pesantren ini sebagai “kerajaan ulama”.
Nama besar Sunan Giri hingga beberapa generasi penerusnya yang memerintah kedatuan ini, begitu dihormati oleh penguasa sentral tanah Jawa. Hingga di masa pemerintahan Sultan Agung Mataram, kedatuan Giri menjadi vasal atau wilayah taklukan Mataram, setelah sebelumnya melalui peristiwa adu fisik dan intrik politik.
Pecahan keluarga Giri, melalui para pangeran utama kerajaan ini, banyak menyebar dalam rangka meneruskan perjuangan pendahulunya, khususnya di bidang agama sekaligus juga di ranah pemerintahan. Salah satu lokasi yang banyak menjadi sasaran anak panah dakwah keluarga Giri adalah nusa Madura.
Di Madura, sejak sekitar abad 16, anggota keluarga bangsawan Giri banyak berperan penting dalam pembumian Islam. Mamira mencoba mengulas beberapa tokoh utamanya.
Pangeran Khotib Manto
Pangeran Khotib ini dikenal dengan beberapa nama. Di antaranya Pangeran Khatib Sampang, dan Pangeran Pakebunan.
Disebut Khatib Manto karena diambil sebagai menantu oleh Panembahan Lemah Duwur, Arosbaya.
Pangeran Khotib merupakan salah satu anak Sunan Kulon. Sunan Kulon adalah anak Sunan Giri.
Beliau berdomisili di Sampang dan hingga akhir hayatnya meninggal dunia di sana. Makamnya berada di dekat Masjid Madegan, Sampang.
Kiai Cendana
Lahir dari rahim Nyai Gede Kedaton, salah satu putri Sunan Kulon. Jadi Kiai Cendana adalah keponakan Pangeran Khatib Manto.
Ayahnya adalah Raden Khatib alias Bandardayo. Dari garis ayahnya nasab Kiai Cendana bersambung hingga Sunan Ampel.
Nama aslinya Zainal Abidin. Beliau dikenal juga dengan gelar Pangeran Purna Jiwa (dalam versi lain Purna Jaya).
Hijrah ke kawasan Kwanyar, Bangkalan. Beliau juga dikenal dengan sebutan Kiai Kwanyar.
Pangeran Ronggo
Tidak banyak keterangan seputar kehidupannya. Nama beliau sering dikutip dalam sejarah genealogi penguasa Madura Barat.
Pangeran Ronggo adalah anak Pangeran Mas Peganten.
Mas Peganten adalah anak Pangeran Waringin Pitu. Sedang Waringin Pitu adalah anak Nyai Ageng Sawo di Giri.
Nyai Ageng Sawo merupakan anak perempuan Sunan Giri. Suaminya, Kiai Ageng Sawo atau Pangeran Sawo adalah cucu dari garis laki-laki Sunan Ampel.
Pangeran Ronggo menetap di Nepa, Sampang.
Pangeran Karangantang
Karangantang merupakan nama tempat di Sampang. Pangeran Karangantang bermakna pangeran di Karangantang.
Beliau adalah anak Pangeran Gebak di Giri. Pangeran Gebak adalah anak Sunan Kulon. Jadi beliau bersaudara dengan Pangeran Khotib Manto dan Nyai Gede Kedaton.
Pangeran Karangantang berputra Pangeran Pulangjiwo, Raja Sumenep.
Rato Ebu Syarifah Ambami
Nama aslinya ialah Syarifah Ambami. Beliau adalah putri Pangeran Ronggo, di Nepa, Sampang. Jika ditarik ke atas, Syarifah Ambami adalah keturunan Sunan Giri sekaligus Sunan Ampel.
Sebutan Ratu Ibu pada Syarifah Ambami, karena dari beliaulah lahir putra mahkota Madura Barat. Yaitu Raden Undakan, alias Panembahan Cakraningrat II alias Siding Kamal. Panembahan ini dikenal kekeramatannya, seperti salah satunya kisah pasca wafatnya, yang membuat waktu terhenti sementara.
Dalam kisah Madura Barat, Pangeran Cakraningrat I lebih sering ada di Mataram ketimbang di wilayah kekuasaannya. Sehingga sang Ratu lebih banyak ditinggal. Oleh karenanya, Ratu Ibu Syarifah Ambami lebih banyak mengasingkan diri atau beruzlah (bertapa) di Arosbaya.
Suatu saat, Ratu Ibu didatangi Nabi Khaidir, dan diperkenankan mengajukan sebuah pemintaan. Sang Ratu menginginkan agar Madura Barat dipimpin anaknya hingga tujuh turun. Cakraningrat I yang mendengar kejadian itu menegur isterinya. “Kenapa engkau hanya meminta tujuh turun, bukan sampai seterusnya?”
Mendengar suaminya kecewa, Sang Ratu kembali meneruskan tapanya hingga wafat dan dimakamkan di Aermata Arosbaya beserta raja-raja Bangkalan, keturunannya.
Pangeran Pulangjiwo
Raden Kaskiyan nama kecilnya. Beliau adalah putra Pangeran Karangantang, Sampang.
Setelah dewasa, Kaskiyan diambil sebagai menantu oleh Tumenggung Yudanegara alias Pangeran Macan Ulung, Raja Sumenep.
Raden Kaskiyan lantas menggantikan mertuanya sebagai penguasa Sumenep dengan gelar Pangeran Pulangjiwo.
Beliau dikenal sebagai raja yang arif dan keramat. Dalam kisah babad, jenazahnya lenyap saat dikuburkan. Makamnya berada di kompleks utama Asta Tinggi Sumenep.