MAMIRA.ID, Sumenep – Panglegur, sebuah kawasan perkampungan yang namanya tentu tidak asing bagi sebagian masyarakat yang berdomisili di kecamatan Kota Sumenep. Secara administratif, kawasan tersebut merupakan bagian dari Desa Pabian. Di balik penamaan “Penglegur” itu sendiri dinisbatkan dari seorang tokoh ulama sepuh di Sumenep pada masanya, yaitu Kiai Panglegur.
Kendati namanya tidak populer dalam literatur sejarah, dunia literasi, sekaligus genealogi tokoh-tokoh awal Sumenep, namun bagi sebagian masyarakat di ujung timur Pulau Madura itu, namanya terpatri dalam benak mereka dari masa ke masa, sehingga makamnya dikenal sebutan Buju’ (Buyut atau makam keramat) Panglegur. Diyakini karena kekeramatan di balik keberadaan makamnya, sehingga banyak wisatawan religi yang berziarah, bahkan di kalangan keluarga keraton Sumenep pun menjadikannya salah satu rute ziarah selain Asta Tinggi, Sendir, Batuampar, Katandur, Raba, Parongpong, dan Barangbang.
Makam Buju’ Panglegur terletak di sebuah komplek pemakaman di Jalan Urip Sumoharjo, Desa Pabian, Kecamatan Kota Sumenep. Lokasinya berada di tengah persawahan dan di sekitarnya tampak rumah-rumah penduduk setempat.
Di dalam kisah tutur turun-temurun, tentang karamah dan kewalian Buju’ Panglegur begitu masyhur. Begitu pula menurut tradisi, Kiai Panglegur disebut se-zaman dengan Kiai Imam di Desa Pandian. Makamnya terletak di Asta Panyangagan, desa setempat. Kiai Imam dikenal sebagai salah satu guru Kiai Raba, Pademawu, Kabupaten Pamekasan. Kiai Raba merupakan paman Kiai Batuampar, ayah Bindara Saot alias Tumenggung Tirtonegoro.
Salah satu kisah keramat tentang sosok ini yang diceritakan sering menjala ikan di lahan tanaman jagung atau padi di depan rumahnya. Konon, saat panen selesai, tanah bekas tanaman salah satu sembako itu sering dihampari jala ikan, dan dengan izin Allah ikan-ikan segar atau masih hidup menggelepar di dalam jala, layaknya di tengah samudera.
Kembali ke Kiai Panglegur, yang namanya tidak ada keterangan secara jelas tentang asal usulnya, bahkan tidak ditemukan dalam literatur babad atau catatan awal Sumenep. Namun, berdasarkan penelusuran yang dihimpun oleh redaksi Mamira.ID, Buju’ Panglegur itu bernama asli Kiai Syamsuddin.
Nah, sehingga ditelusuri lebih dalam dengan merujuk pada catatan naskah-naskah kuna yang berceceran, setidaknya ada dua tokoh ulama bernama Kiai Syamsuddin. Pertama, Kiai Syamsuddin, mertua Pangeran Katandur, Sang Wali Nandur asal Negeri Kudus. Dan kedua, Kiai Syamsuddin, salah satu putra dari Kiai Ali Barangbang.
Kembali ke Kiai Raba, yang masa kecilnya bertemu dengan Kiai Imam dan berguru kepadanya, maka jika dikomparasikan dengan masanya, kemungkinan besar, Kiai Panglegur identik dengan Kiai Syamsuddin, mertua dari Pangeran Katandur. Jika benar demikian, maka sang kiai merupakan besan Panembahan Pakaos putra Kangjeng Sunan Kudus. Karena Pangeran Katandur merupakan salah satu cucu Sunan Kudus yang hijrah ke nusa garam.
Disebutkan dalam naskah babad (Werdisastra, 1914), bahwa Kiai Raba mengaji ke Kiai Khatib Sendang salah satu anak Pangeran Katandur. Kiai Raba sendiri diyakini hidup pada abad 17.
Namun, perkiraan masa Kiai Syamsuddin, mertua Pangeran Katandur, se-zaman dengan Kiai Syamsuddin, alias Buju’ Panglegur, hanyalah sekedar dugaan sementara yang tentunya sangat memerlukan kajian lebih dalam lagi.
Makam Kiai Panglegur berada di sebuah cungkup, yang di dalamnya terdapat pula dua makam lainnya dengan nisan bernuansa kuna. Di depan cungkup itu terdapat sebuah pendapa kuna berukuran mini berbahan kayu jati yang masih kuat. Dewasa ini, makam itu sudah tidak orisinal dan situsnya pun telah pudar ditelan masa.