MAMIRA.ID, Madura – Ratu, sebutan yang biasa kita dengar dalam sejarah tempo dulu. Meski tidak mutlak, istilah ini lebih merujuk pada sosok perempuan. Nah, di pulau Madura, yang tempo dulu masih berbentuk kerajaan, hingga kemudian berstatus kadipaten, ada empat sosok perempuan yang pernah bergelar sebagai ratu.
Meski dalam prakteknya, ratu di sini sejatinya masih bisa dibagi lagi maknanya. Secara tradisi, ratu merupakan gelar pemimpin kerajaan, yang tokohnya tersebut berjenis kelamin perempuan. Namun ada juga ratu yang disematkan sebagai gelar seorang garwa parameswari atau permaisuri raja, yakni isteri utama seorang raja. Dalam konteks yang terakhir ini, ratu juga sebagai ibu suri yang memiliki peran dan kekuasaan yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Secara de facto, ratu juga merupakan ibunda seorang raja yang berkuasa, dan memiliki pengaruh besar atas keputusan-keputusan yang tidak bisa diangkat remeh.
Apalagi dalam tradisi dan budaya Madura, penghormatan seorang anak, apapun kedudukannya saat itu, merupakan kewajiban yang tidak pernah putus. Ungkapan buppa’, babbu’, guru, rato, menempatkan posisi ayah dan ibu, di atas guru dan pemimpin negaranya.
Makna lainnya, ratu bisa dipakai dua jenis kelamin sekaligus, yang maknanya seperti di muka, yaitu gelar pemimpin kerajaan. Alasannya, karena ada istilah keraton yang berakar dari panggilan ratu atau rato. Sebagaimana istilah kerajaan yang berakar pada panggilan raja, dan kedatun atau kedaton yang berakar pada datu.
Ratu Ibu Madegan
Sang Ratu yang pertama dibahas ini merupakan seorang sosok penting dalam dinamika perjalanan sejarah di Madura. Khususnya di Madura Barat, atau dahulu cukup dikenal dengan Sampang.
Meski hanya seorang isteri dari penguasa Madura Barat, sang ratu merupakan sosok yang membesarkan putra mahkota, yang kelak menjadi penguasa terbesar Madura Barat. Nama sang putra bahkan membuwana hingga ke tanah Jawa. Putra yang dimaksud itu ialah Raden Prasena alias Pangeran Adipati Cakraningrat I, Seda Ing Imagiri.
Sebutan Ratu pada sosok yang pasareannya ada di kawasan Asta Madegan Sampang ini bermakna permaisuri. Beliau ini memang isteri utama dari Raden Koro alias Pangeran Tengah, penguasa Madura Barat yang berkedudukan di Sampang.
Sedangkan sebutan Ibu, karena beliau ini adalah ibu suri atau ibunda dari putra mahkota, yakni Raden Prasena di atas.
Setelah peristiwa invasi Mataram di Madura (1624), yang ujungnya banyak merenggut nyawa penguasa Madura, wilayah Madura Barat menjadi bawahan Mataram. Putra Mahkota dibawa ke Mataram, tak jadi dibunuh. Bahkan penguasa Mataram (Sultan Agung) tertarik, dan mengambilnya sebagai anak, serta di kemudian hari dinikahkan dengan salah satu saudarinya.
Jadi Cakraningrat I adalah anak angkat sekaligus saudara ipar Sultan Agung. Dari pernikahan itu, dalam sebuah versi lahirlah Raden Demang Mlayakusuma, ayahanda Pangeran Trunojoyo.
Nah, setelah itu Madura Barat dikembalikan pada Cakraningrat I. Pangeran ini lantas dibesarkan oleh Ratu Ibu Madegan, ibunya. Karena Cakraningrat I masih di bawah umur, maka diangkatlah walinya, yaitu Pangeran Santomerto, adik Ratu Ibu Madegan.
Ratu Ibu Arosbaya
Ratu yang dibahas kali ini masih terkait dengan Pangeran Cakraningrat I. Bedanya, jika Ratu Ibu Madegan adalah ibunya, maka Ratu Ibu Arosbaya ini adalah permaisurinya.
Ratu Ibu bernama asli Syarifah Ambami. Beliau adalah putri Pangeran Ronggo, di Nepa, Sampang. Jika ditarik ke atas, Syarifah Ambami adalah keturunan Sunan Giri sekaligus Sunan Ampel. Ayahnya, Pangeran Ronggo adalah anak Pangeran Mas Peganten. Pangeran Mas ini adalah putra Pangeran Waringin Pitu. Dan Waringin pitu adalah anak Nyai Ageng Sawo, putri Kangjeng Sunan Giri I.
Sebutan Ratu Ibu pada Syarifah Ambami, karena dari beliaulah lahir putra mahkota Madura Barat. Yaitu Raden Undakan, alias Panembahan Cakraningrat II alias Siding Kamal. Panembahan ini dikenal kekeramatannya, seperti salah satunya kisah pasca wafatnya, yang membuat waktu terhenti sementara.
Dalam kisah Madura Barat, Pangeran Cakraningrat I lebih sering ada di Mataram ketimbang di wilayah kekuasaannya. Sehingga sang Ratu lebih banyak ditinggal. Oleh karenanya, Ratu Ibu Syarifah Ambami lebih banyak mengasingkan diri atau beruzlah (bertapa) di Arosbaya.
Suatu saat, Ratu Ibu didatangi Nabi Khaidir, dan diperkenankan mengajukan sebuah pemintaan. Sang Ratu menginginkan agar Madura Barat dipimpin anaknya hingga tujuh turun. Cakraningrat I yang mendengar kejadian itu menegur isterinya. “Kenapa engkau hanya meminta tujuh turun, bukan sampai seterusnya?”
Mendengar suaminya kecewa, Sang Ratu kembali meneruskan tapanya hingga wafat dan dimakamkan di Aermata Arosbaya beserta Raja-raja Bangkalan, keturunannya.
Ratu Pamelingan
Jika kedua sosok ratu di atas dikarenakan status sebagai isteri raja dan sekaligus ibunda raja selanjutnya—meski juga memiliki kendali dalam pemerintahan, maka sosok kali ini memang benar-benar seorang ratu perempuan alias raja penuh yang menguasai sebuah wilayah.
Ratu Pamelingan bermakna raja perempuan di Pamelingan atau dalam ejaan lain Pamelengan. Pamelingan adalah nama sebelum berganti menjadi Pamekasan. Ratu ini bernama asli Nyai Banu atau Ratu Banu. Beliau adalah putri semata wayang Raja Pamelingan di abad 15, yaitu Kiai Wonorono atau Bonorono.
Setelah dewasa, Ratu Banu menikah dengan Raden Adipati Pramono, yaitu penguasa di Sampang pada abad 15. Setelah menikah dengan Adipati Pramono—yang kemudian bergelar Pangeran Bonorogo (Wonorogo), wilayah Sampang dan Pamekasan menjadi satu. Dari perkawinan itu lahir di antaranya Panembahan Ronggosukowati—Raja terbesar dalam sejarah Pamekasan, dan Pangeran Saba Pele alias Adipati Madegan.
Ratu Tirtonegoro
Seperti halnya Ratu Pamelengan, sebutan ratu pada sosok kali ini juga bermakna raja perempuan. Raden Ayu Rasmana atau Asmana, nama lahirnya. Beliau adalah penguasa Sumenep di pertengahan abad 18.
Jika ditarik secara nasab, Ratu Rasmana adalah keturunan langsung Ratu Pamelingan. Ayah Ratu Rasmana, yaitu Pangeran Rama (Cakranegara II) adalah putra Pangeran Gatotkaca alias Ario Adikoro I, raja Pamekasan.
Adikoro I adalah anak Pangeran Purboyo. Pangeran Purboyo adalah anak Panembahan Ronggosukowati, yaitu anak Ratu Pamelengan.
Setelah Pangeran Jimat (Cakranegara II), Raja Sumenep setelah Pangeran Rama wafat, Sumenep diperintah oleh Pangeran Cakranegara IV (Pangeran Lolos). Setelah Pangeran Lolos diberhentikan, maka diangkatlah Raden Ayu Rasmana (adik Pangeran Jimat) sebagai Raja Sumenep.
Saat menduduki tahta, Ratu Rasmana berstatus janda. Beliau lantas menikah dengan Bindara Saot. Setelah itu menyerahkan tahta pada suaminya yang bergelar Tumenggung Tirtonegoro. Rasmana selanjutnya disebut Ratu Tirtonegoro.