MAMIRA.ID – Ambunten merupakan salah satu wilayah peradaban kuna di Madura Timur. Pusat pemerintahan di abad 14 Masehi, yaitu di Kampung Mandaraga Desa Keles, saat ini secara administratif menjadi bagian dari Kecamatan Ambunten. Pusat kecamatan terletak di kawasan pesisir utara Kabupaten Sumenep. Daerah ini memiliki sekaligus beragam kisah karomah para kekasih Allah.
Seperti di antaranya kisah tokoh legendaris bernama Kiai Macan alias Raden Demang Singoleksono yang diceritakan memiliki banyak karomah. Salah satunya ialah ketika ada warga kemalingan, beliau cukup menabuh kentongan kecil, maka saat itu juga si maling menyerahkan diri sekaligus membawa kembali barang curiannya. Kisah ini masyhur di kalangan keluarga Keraton Sumenep, dan Ambunten pada khususnya.
“Kiai Macan juga dikenal dengan karomahnya yang menaiki pe-sapean pappa (pelepah pisang yang biasa dibuat sapi-sapian oleh anak kecil; red) sembari terbang saat peristiwa perang Sumenep-Blambangan. Pulangnya beliau naik mondung (ikan hiu; red) seorang diri,” kata Nyai Hajjah Zainiyah, salah satu keturunan Kiai Macan di Desa Ambunten Timur.
Tak hanya kisah kekeramatan tersebut, ada lagi kisah karomah sang kiai ini yang konon masih bisa terlihat hingga saat ini pada orang-orang tertentu. Yaitu kisah karomah dua wali di Sungai Pandi, Desa Ambunten Tengah.
Syahdan, di suatu masa pada abad 19 Masehi, hiduplah seorang ulama besar di Ambunten bernama Kiai Rausyi. Kiai Rausyi masih memiliki hubungan darah dengan Kiai Macan di atas. Keduanya juga disebut memiliki hubungan perbesanan.
Kiai Macan merupakan penguasa Ambunten, yang dikenal alim. Sementara Kiai Rausyi adalah tokoh ulama berkerabat dengan Kiai Mahmud Aengpanas, ayah Kiai Imam, pendiri pesantren Karay, Ganding.
“Suatu ketika Kiai Rausyi diriwayatkan bertamu ke kediaman Kiai Macan yang berada di pinggir Sungai Pandi, yang sekarang masuk wilayah Desa Ambunten Tengah,” kata almarhum K. Raheli, beberapa tahun silam. Raheli, leluhurnya memiliki hubungan kekerabatan dengan Kiai Rausyi.
Sesampainya di kediaman Kiai Macan, Kiai Rausyi berkata pada Kiai Macan bahwa dirinya ingin dijamu masakan ikan laut. Lalu Kiai Macan bergegas mengambil jaring yang biasa digunakan para nelayan dan menghamparkannya ke halaman rumah beliau. Seketika atas ijin Allah, jaring dipenuhi oleh ikan-ikan laut yang masih hidup dan menggelepar di jaring tersebut.
“Akhirnya dimasaklah ikan-ikan tersebut oleh Kiai Macan dan dihidangkan kepada Kiai Rausyi,”cerita Raheli.
Setelah selesai makan, Kiai Macan seperti yang ditirukan Raheli, berkata pada Kiai Rausyi, “sekarang giliranmu, saudaraku”.
Mendengar itu, Kiai Rausyi mengambil sisa-sisa ikan bakar yang kepalanya masih menyatu dengan tulang sampai ekor, namun sudah tiada berdaging, karena telah dimakan. Ikan bakar tersebut lalu dilempar oleh Kiai Rausyi ke sungai Pandi yang tak jauh dari situ. Ajaib, ikan yang tak berdaging itu atas ijin Allah hidup dan berenang-renang di sungai.
“Ikan tersebut hingga saat ini dari cerita warga kadang menampakkan diri. Namun tidak semua orang bisa menjumpainya di Sungai Pandi,” kata Raden Imamiyah, keturunan Kiai Macan sekaligus yang ada di Ambunten.
Namun, konon, seperti yang dikatakan Imamiyah, biasanya warga atau orang yang melihatnya tidak lama hidup alias pendek umurnya. “Dari dulu memang dikenal seperti itu. Tapi yang namanya mati itu ya tetap dikembalikan pada ketentuan Allah. Sudah ajalnya,” tutup Imamiyah.