MAMIRA.ID – Unik, lucu, dan menggelikan, itulah yang tersirat dalam benak kita saat mendengar nama Abu Nawas. Sosok fenomenal ini memang terkenal dengan lawakan-lawakannya yang dikemas begitu apik dalam kisah 1001 malam. Padahal, di balik tingkah lakunya yang lucu itu, sejatinya, Abu Nawas merupakan seorang sufi dan penyair besar dalam sejarah peradaban Islam.
Abu Nawas lahir di Kota Ahvas, Persia (sekarang Iran) pada tahun 145 Hijriah (747 Masehi). Nama lengkapnya adalah Abu Ali Al-Hasan bin Hani Al-Hakami. Di darahnya mengalir darah Arab dan Persia. Ayahnya berasal dari Arab, sedang ibunya dari Persia. Beliau hidup di masa pemerintahan Khalifah Harun Ar-Rasyid dari dinasti Abbasiah.
Konon, di masa mudanya, Abu Nawas gemar berbuat maksiat dan sangat menyukai minuman khamr, hingga dijuluki sebagai penyair khamr. Syair-syairnya pun acapkali penuh kontroversi, salah satunya berbunyi :
Biarkan masjid diramaikan oleh orang-orang yang rajin ibadah
Kita di sini saja, bersama para peminum khamr dan saling menuangkan
Tuhanmu tidak pernah berkata, “Celakalah para pemabuk!”
Tapi Dia berkata, “Celakalah orang-orang yang salat!”
Saat syair itu terdengar oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid, marahlah ia kepada Abu Nawas, hingga memanggilnya ke istana untuk menerima hukuman. Namun sang Khalifah yang terkenal arif dan bijaksana itu, memaafkan Abu Nawas dan memintanya agar memohon ampunan.
Dalam suatu riwayat, syair itu pun memicu reaksi keras dari salah satu imam besar Islam sekaligus ulama fikih ternama pada masanya, yaitu Imam Syafi’i rahimahullahu ta’ala. Hingga di saat Abu Nawas menghembuskan napas terakhirnya, sang Imam tidak berkenan untuk menyalati jenazah Abu Nawas. Namun begitu jasadnya hendak dimandikan, ditemukan dari saku baju Abu Nawas secarik kertas berisi syair yang bertuliskan:
Ya Tuhanku, Aku bukanlah ahli surga firdaus
Dan aku tidak kuat akan siksa neraka Jahim
Maka terimalah taubatku dan ampunilah dosa-dosaku
Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dosa besar
Dosa-dosaku bagaikan bilangan pasir
Maka terimalah taubatku Wahai Zat Yang Maha Agung
Dan umurku kian berkurang tiap hari
Dan dosaku makin bertambah
Bagaimana aku akan menanggungnya?
Wahai Tuhanku, hamba-Mu yang penuh maksiat ini telah menghadap-Mu
Mengakui segala dosa dan sungguh-sungguh memohon kepada-Mu
Maka jika Engkau mengampuni, sungguh Engkaulah Pemilik Ampunan
Tetapi jika Engkau menolak, kepada siapa lagi aku mengharap selain kepada-Mu.
Di saat Imam Syafi’i membaca syair tersebut, tak terasa air mata berlinang membasahi pipi beliau. Oleh karena itu, sang Imam pun menyalati jenazah Abu Nawas.
Hingga kini, lantunan syair Abu Nawas yang dikenal dengan nama al-I’tirof (pengakuan) senantiasa dijadikan zikir sebelum salat berjamaah di masjid-masjid, begitu pula di dunia pesantren.
(Diambil dari beberapa sumber)