Madegan, dan Situs-situs Tertua yang Tersimpan

MAMIRA.ID, Sampang – Sejarah Sampang, berdasarkan pada penetapan hari jadinya, mengacu pada Candra Sengkala yang terdapat di situs Rato Ebu atau Ratu Ibu Madegan, Sampang. Tepatnya di pintu masuk berupa Gapura Paduraksa menuju makam Rato Ebu di Kampung Madegan, Kelurahan Polagan, Kecamatan Kota, Kabupaten Sampang.

Candra Sengkala merupakan tradisi penanggalan Jawa. Yaitu suatu representasi visual yang berbunyi hukum empat kata yang masing-masing menghasilkan angka. Hal ini lantas memberikan makna tanggal secara penanggalan Saka.

Kembali pada Ratu Ibu di muka, sebutan Ratu pada sosok yang pasareannya ada di kawasan Asta Madegan Sampang ini bermakna permaisuri. Beliau ini memang isteri utama dari Raden Koro alias Pangeran Tengah, penguasa Madura Barat yang berkedudukan di Sampang.

Madegan, dan Situs-situs Tertua yang Tersimpan
Situs Rato Ebu Madegan Sampang. (Foto/Mamira)

Sedangkan sebutan Ibu, karena beliau ini adalah ibu suri atau ibunda dari putra mahkota, yakni Raden Prasena yang kelak lebih dikenal sebagai Pangeran Adipati Cakraningrat I.

Setelah peristiwa invasi Mataram di Madura, yang ujungnya banyak merenggut nyawa penguasa Madura, wilayah Madura Barat menjadi bawahan Mataram. Putra Mahkota dibawa ke Mataram, tak jadi dibunuh. Bahkan penguasa Mataram (Sultan Agung) tertarik, dan mengambilnya sebagai anak, serta di kemudian hari dinikahkan dengan salah satu saudarinya.

Jadi Cakraningrat I adalah anak angkat sekaligus saudara ipar Sultan Agung. Dari pernikahan itu, dalam sebuah versi lahirlah Raden Demang Mlayakusuma, ayahanda Pangeran Trunojoyo.

Nah, setelah itu Madura Barat dikembalikan pada Cakraningrat I. Pangeran ini lantas dibesarkan oleh Ratu Ibu Madegan, ibunya. Karena Cakraningrat I masih di bawah umur, maka diangkatlah walinya, yaitu Pangeran Santomerto, adik Ratu Ibu Madegan.

Baca Juga:  Pangantan Jaran: Tradisi Unik Orang Madura Saat Pernikahan
Madegan, dan Situs-situs Tertua yang Tersimpan
Makam Rato Ebu Madegan. (Foto/Mamira)

Pengangkatan Prasena inilah yang lantas diabadikan sebagai hari jadi Kota Bahari. Yaitu berdasarkan sangkalan memet pada Gapura Paduraksa di atas, yang terbaca “naga kapana titis ing midi”. Sangkalan tersebut berupa relief seekor naga yang tertusuk panah hingga ke ekornya. Jika diartikan, sangkalan memet itu bermakna hitungan tahun ke-1546 Caka, atau 1624 dalam kalender masehinya.

Selain situs berupa gapura paduraksa, di sekitar itu juga terdapat banyak makam kuna. Makam utama di sana ialah makam Rato Ebu sendiri. Makam yang sarat dengan ornamen istimewa, yang menunjukkan status sekaligus penghargaan tertinggi pada sosok yang dimakamkan.

Madegan, dan Situs-situs Tertua yang Tersimpan
Sangkalan memet “Naga Kapana ing Midi”. (Foto/Mamira)

Di dekat situs juga terdapat masjid bersejarah, yang dikenal dengan sebutan Masjid Madegan. Menurut sumber-sumber yang ada, Masjid Madegan diperkirakan lebih tua usianya dari pada situs Makam Rato Ebu sendiri. Pasalnya, riwayat turun-temurun menyebut bahwa masjid ini dibina’ atau didirikan oleh penguasa Sampang yang terkenal sepanjang masa: Raden Adipati Pramono, atau dalam catatan lain ditulis Kiai Adipati Pramono. Secara genealogi, Adipati Pramono adalah kakek buyut Rato Ebu Madegan. Nenek Rato Ebu, yaitu Ratu Zuhra adalah putri Adipati Pramono.

Dalam catatan silsilah Raja-raja Madura, Adipati ini merupakan putra sulung Pangeran Demang Plakaran, Raja pertama Madura Barat yang berkedudukan di Arosbaya. Adipati Pramono bersaudara dengan Raden Pragalba alias Pangeran Onggu’ Arosbaya, leluhur dinasti Cakraningrat. Kedua bersaudara ini juga berbesanan. Putri Adipati Pramono di atas, Ratu Zuhra, menikah dengan salah satu putra Raden Pragalba yang bernama Pangeran Pradata.

Baca Juga:  Kiai Baroya: Penerus Estafet Perjuangan Kiai Faqih

Sekilas tentang Adipati Pramono

Meski tidak ditemukan Candra Sengkala terkait Raden Adipati Pramono, namun dalam sejarah genealogi raja-raja Madura, nama Sang Adipati banyak sekali disebut.

Di masanyalah Sampang dan Pamekasan lantas menjadi satu. Kala itu Pamekasan masih bernama Pamelingan.

Tidak ada keterangan sejak kapan Adipati Pramono menjadi penguasa Sampang. Sejarahwan Madura, Kangjeng Zainalfattah hanya menyebut Adipati Pramono bertahta di Madegan, Sampang.

Adipati Pramono menikah dengan Ratu Banu, satu-satunya putri Kiai Wonorono, raja Pamelingan. Kiai Wonorono merupakan anak Lembu Petteng. Nama kecilnya Ario Mengo.

Dari pernikahan Pramono dengan Ratu Banu lahirlah Panembahan Ronggosukowati, Pangeran Adipati Pamadegan dan lain-lain.

Saat itu Sampang dan Pamelingan menjadi satu kesatuan. Karena para penguasanya merupakan suami isteri. Pamelingan pun tahtanya diserahterimakan pada Adipati Pramono. Berdasarkan beberapa naskah genealogi di kalangan keluarga Keraton Sumenep dan Pamekasan, Adipati Pramono juga dikenal dengan nama Pangeran Bonorogo (Wonorogo).

Sepeninggal Pangeran Bonorogo alias Adipati Pramono, Sampang dan Pamekasan (Pamelingan) dibagi lagi. Pamekasan diperintah oleh Panembahan Ronggosukowati, sedangkan Sampang diberikan pada Pangeran Adipati Pamadegan.

Dua Pangeran Jimat, dan Kisah Syuhada Pertama Pulau Garam
Pasarean Panembahan Ronggosukowati, Raja agung Pamekasan. (Foto/Mamira)

Di masa Ronggosukowati, ada kerajaan-kerajaan kecil yang berada di bawah kekuasaannya. Seperti keraton di Blumbungan yang diperintah oleh Pangeran Nurogo, adik Ronggosukowati. Nurogo. Selain itu juga ada Pangeran Pradoto di keraton Jambringen. Pangeran Pradata adalah anak Kiai Pragalba, sekaligus menantu Adipati Pramono. Isteri Pangeran Pradoto bernama Ratu Zuhra, putri Adipati Pramono.

Baca Juga:  Asta Tinggi Bagian III: Cungkup Bindara Saot

Kembali pada Sampang, tidak disebutkan secara detil tentang Adipati Pamadegan pengganti Adipati Pramono. Adipati Pamadegan ini hanya disebut sebagai salah satu putra Pangeran Bonorogo itu.

Dalam catatan Sumenep, salah satu adik Panembahan Ronggosukowati adalah Pangeran Sosrodipuro alias Pangeran Saba Pele, Sampang. Menurut riwayat tutur dan didukung oleh catatan di salah satu pecahan keturunan Raden Entol Anom alias Raden Onggodiwongso di Kepanjin Sumenep, Pangeran Saba Pele adalah satu orang yang sama dengan Pangeran Adipati Pamadegan.

Hanya saja setelah Adipati Pamadegan, Sampang tidak lagi dipimpin oleh putranya. Keturunan Pangeran Saba Pele alias Pangeran Adipati Pamadegan banyak memainkan peranan penting di kawasan timur, seperti Pangeran Macan Alas di Waru, Pamekasan.

Pangeran Macan Alas Waru dikenal sebagai pembabat Waru, juga dikenal sebagai tokoh ulama dan diyakini berpangkat waliyullah. Beliau menurunkan Raden Sutajaya dan putra-putranya, seperti Raden Entol Anom (Patih atau Ronggo di Sumenep yang dikenal dengan nama Raden Anggadiwangsa—dalam naskah lain merujuk pada sosok Raden Prajapati, Adipati sementara di Sumenep sepeninggal Pangeran Yudanegara) beserta Raden Entol Janingrat. Keduanya merupakan leluhur keluarga bangsawan di Sumenep dan tokoh-tokoh ulama di Pamekasan.

Setelah Pangeran Saba Pele alias Adipati Pamadekan, kekuasaan di kota Bahari ini dipegang oleh Pangeran Mertosari, cucu Adipati Pramono dari Ratu Zuhra dan Pangeran Pradata, atau salah satu keponakan Pangeran Saba Pele. Kemudian Sampang masuk kekuasaan Raja-raja Arosbaya, setelah Raden Praseno alias Pangeran Cakraningrat I yang dilantik oleh Mataram dan berkedudukan di Sampang.