Asal usul Kiai Adhimah Mangaran, dan Jejak-jejak Keluarga Katandur di Situbondo

MAMIRA.ID, Situbondo – Situbondo merupakan salah satu kabupaten di kawasan Tapal Kuda yang sejak abad 17 sudah mendapat sentuhan tangan dingin tokoh-tokoh Madura Timur. Sebelum berstatus kabupaten, Situbondo merupakan bagian dari kadipaten Besuki. Kadipaten yang berdiri pada paruh pertama abad 19. Kadipaten yang didirikan oleh Raden Bambang Sutiknya, alias Kangjeng Pangeran Adipati Ario Prawiraadiningrat, cucu Panembahan Sumolo Sumenep.

Asal usul Kiai Adhimah Mangaran, dan Jejak-jejak Keluarga Katandur di Situbondo
Peta kawasan Tapal kuda dan potret Adipati pertama Besuki, cikal bakal Kabupaten Situbondo. (Foto/Mamira)

Sebelum menjadi kadipaten, Besuki dikendalikan oleh para Ronggo, yaitu patih berkuasa penuh. Salah satu Ronggo yang terkenal di Besuki ialah Patih Alos (Ke Pate Alos). Pate Alos sejatinya juga merupakan tokoh yang bersusur-galur pada salah satu ulama besar di Madura (Pamekasan). Yaitu Kiai Abdullah Jambul, Pademawu.

Sementara Situbondo waktu itu belum begitu dikenal dalam sejarah tapal kuda. Meski dalam folklore, asal usul nama Situbondo diperkirakan sudah lumayan tua. Konon, nama Situbondo diambil dari tokoh legenda Pangeran Situbondo.

Cucu Pangeran Katandur

Situbondo mulai dikenal setelah penguasa Besuki, lalu Panarukan, memindahkan pusat pemerintahan ke Kota Santri tersebut. Di masa-masa selanjutnya Situbondo juga mulai dikenal sebagai pusat perkembangan ekonomi eks Karesidenan Besuki, dan mulai identik dengan kawasan religius.

Beberapa tokoh Madura hijrah ke sana dan mendirikan pesantren. Salah satunya yang cukup dikenal ialah Kiai Syamsul Arifin dan putranya, Kiai As’ad, yang membangun pusat transfer ilmu di Sukorejo.

Dalam naskah Madura Timur, ternyata ditemukan nama tokoh ulama yang jauh lebih awal menjejakkan kaki di Situbondo. Catatan itu ditemukan di beberapa naskah silsilah Raja-raja Sumenep, khususnya dinasti terakhir.

Di sana ada nama Kiai Jeru, Situbondo. Kiai Jeru merupakan salah satu anak Kiai Khatib Paddusan di Sumenep, Madura. Khatib Paddusan adalah salah satu anak Pangeran Katandur, Sang Wali ‘Nandur’. sang pangeran diperkirakan hidup pada abad 17 Masehi.

Asal usul Kiai Adhimah Mangaran, dan Jejak-jejak Keluarga Katandur di Situbondo
Kubah atau cungkup Pasarean Pangeran Katandur di Sumenep, Madura. (Foto/Mamira)

Selain Kiai Jeru, anak-anak Kiai Khatib Paddusan yang cukup terkenal ialah Kiai Ali (Kiai Barangbang), Nyai Ceddir (Lembung), dan Kiai Pangolo Brungbung (Lombang).

Baca Juga:  Terungkapnya Teka-teki Asta Kesambi di Desa Kebonagung Sumenep

Keluarga Katandur memang dikenal menyebar di dua lini: pemerintahan dan dakwah. Anak cucu Katandur juga dikenal menyebar dan membentuk gugusan pelita ilmu di Madura Timur, bahkan hingga lintas pulau Garam.

Karena di catatan kuna, tidak ada keterangan lebih lanjut dan siapa saja anak cucu Kiai Jeru. Catatan silsilah Pangeran Katandur memang tidak utuh khususnya hingga generasi saat ini.

Asal usul Kiai Adhimah Mangaran, dan Jejak-jejak Keluarga Katandur di Situbondo
Pasarean Kiai Khatib Paddusan di Sumenep, Madura (Foto/Mamira)

Umumnya, naskah-naskah itu berceceran dan cukup memuat catatan perkeluarga, yang bersusur-galur pada salah satu pecahan keluarga Katandur. Pangeran Katandur sendiri dikenal sebagai cucu Kangjeng Sunan Kudus alias Sayyid Ja’far Shadiq, salah satu Tokoh Wali Sanga di Tanah Jawa, yang hijrah ke Sumenep.

Asal usul Kiai Adhimah Mangaran, dan Jejak-jejak Keluarga Katandur di Situbondo
Masjid dan menara Kudus di komplek Pasarean Sunan Kudus. (Foto/koleksi HRM Khalilur R Abdullah Sahlawiy)

Sang Pangeran menikah dengan putri Kiai Syamsuddin di Sumenep dan memiliki tiga anak laki-laki (dalam versi catatan lain yang lebih baru, ada empat). Anak tertua bernama Kiai Khatib Paranggan, lalu Kiai Khatib Paddusan, dan Kiai Khatib Sendang. Dari anak pertama dan kedua, muncullah toko-tokoh dinasti terakhir keraton Sumenep (1750-1929).

Curah Jeru dan Mangaran

Menelusuri jejak Kiai Jeru di Situbondo bisa dikatakan tidak mudah. Meski juga tidak bisa disebut sulit. Dari hasil penelusuran sementara, khususnya dari hasil wawancara dengan HRM Khalilur R Abdullah Sahlawiy, tokoh muda di Situbondo, diketahui jika masyarakat setempat kebanyakan sudah tidak banyak tahu mengenai sejarah tokoh-tokoh awal Situbondo.

Kiai Jeru memang bukan nama asli sang tokoh. Jeru kemungkinan besar adalah julukan atau nisbat tempat. Merujuk pada nama-nama saudaranya, yaitu sesama anak-anak Kiai Khatib Paddusan, yang dalam catatan sejarah tidak menyebutkan nama aslinya. Seperti Kiai Barangbang, dan lainnya.

Kiai Jeru bermakna kiai yang berdomisili di kawasan bernama Jeru. Seperti lazimnya penulisan tokoh-tokoh di literatur babad dan folklore, cukup julukan atau nisbat tempat saja. Jarang yang ditulis detil dengan nama aslinya.

Baca Juga:  Sejarah Kota Tape, dari Banaraga ke Banawasa (Bagian 1)

Namun masalahnya, tidak ada nama Jeru di Situbondo. Yang ada dari hasil survei wilayah, ialah Curah Jeru. Curah Jeru merupakan nama desa di kawasan kecamatan Panji, Situbondo. Tapi setelah ditelusuri, hampir tidak ada yang tahu soal info tentang Kiai Jeru putra Kiai Khatib Paddusan dari Sumenep.

Meski begitu, info naskah kuna Sumenep tidak bisa diabaikan begitu saja. Apalagi jika dilihat masanya, Kiai Jeru merupakan anak Kiai Khatib Paddusan yang diperkirakan hidup di tahun 1600-an. Sehingga wajar jika generasi saat ini tidak mengetahui atau belum mendengar info tersebut.

Tak jauh dari Curah Jeru, yaitu Kecamatan Mangaran, di sana dikenal seorang tokoh bernama Buju’ Dima atau Kiai Dima, kependekan dari Adhimah. Kiai Dima dikenal oleh orang setempat sebagai seorang kiai sakti dari Sumenep.

Asal usul Kiai Adhimah Mangaran, dan Jejak-jejak Keluarga Katandur di Situbondo
Makam Kiai Dima dan keluarganya di Situbondo. (Foto/Mamira)

Meski lokasi berbeda kecamatan, keberadaan sosok Kiai Dima diduga kuat identik dengan Kiai Jerru di catatan Sumenep di atas. Apalagi didukung oleh informasi asal usulnya yang memang menurut riwayat turun-temurun memang berasal dari Sumenep. Ditambah dengan fakta bahwa anak cucu Kiai Dima di Mangaran memiliki tradisi ziarah ke makam Pangeran Katandur di Sumenep setiap tahun.  Hal itu Mamira dapatkan dari hasil wawancara dengan Ibu Sumani, keturunan langsung Kiai Dhima yang menetap di Mangaran. Meski dari tutur yang bersangkutan, dirinya mengaku tidak tahu sejak leluhurnya yang mana tradisi itu mulai ada, dan apa alasan di balik adanya tradisi ziarah tersebut setiap tahunnya

Bahkan salah satu keluarga di Sokaan, yaitu keluarga KH Ahmad Farhan Humaidi, yang notabene juga merupakan keturunan langsung Kiai Dima, kepada Tim Mamira menjelaskan bahwa keluarganya memiliki tradisi nyekar ke makam Kiai Ali alias Kiai Barangbang di Sumenep. Kiai Barangbang merupakan saudara kandung Kiai Jerru, yaitu yang diidentifikasi sebagai Kiai Dima.

Baca Juga:  Kisah Kewalian Kiai Agung Jareja dan Jangkrik Peliharaannya

Sebenarnya nama Dima sempat ditemukan dari sumber informasi yang didapat beberapa komunitas pemerhati sejarah di ujung timur pulau garam. Dari info tersebut ditemukan nama Nyai Dima dan Kiai Dima di catatan silsilah keluarga Kiai Ali Barangbang Sumenep, khususnya di catatan silsilah Kiai Quddus bin Ali. Sayangnya di dalam info itu tidak ada keterangan lebih lanjut mengenai nama-nama tersebut.

Kembali pada info soal Kiai Dima Mangaran yang disebut berasal dari Sumenep, sekali lagi merupakan riwayat turun-temurun, khususnya di kalangan anak cucunya. Tak hanya disebut berasal dari Sumenep, Kiai Dima juga diceritakan dahulu memiliki pagurun (penggurun) di Mangaran. Keterangan tersebut didapat dari HRM Khalilur Abdullah Sahlawiy, yang juga keturunan Kiai Dima. Sementara narasumber Titi di atas, dan juga saudaranya yang bernama Sumani, hanya menceritakan sosok Kiai Dima sebagai sosok yang alim di masanya.

Asal usul Kiai Adhimah Mangaran, dan Jejak-jejak Keluarga Katandur di Situbondo
Nisan asli Kiai Dima yang tertimbun tanah. Nisan model Sumenep abad 19. (Foto/Mamira)

Namun kisah paling menonjol tentang Kiai Dhima, dari beberapa narasumber di atas hanya dari sisi mistis dan kekeramatannya. Seperti kisah bahwa ludah beliau diwadahi bumbung bambu, karena konon jika diludahkan ke tanah dan diinjak orang biasa bisa mengakibatkan bahaya bagi penginjaknya.

Makam Kiai Dima di Mangaran hingga saat ini masih bisa disaksikan. Meski super sangat sederhana. Makamnya rata dengan tanah, dan awalnya hanya diketahui diberi penanda berupa batu nisan kecil buatan masa kini. Namun setelah sempat dilakukan pembersihan dan penggalian beberapa centimeter terdapat batu nisan yang sudah tidak utuh, namun diperkirakan oleh tim arkeologi dan ahli pernisanan kuna, sebagai nisan model Sumenep di abad 19.

Dan ternyata, setelah dilakukan penelusuran lebih lanjut, di sekitar pemakaman keluarga Kiai Dima beserta keturunannya di sana, ditemukan beberapa nisan kuna yang juga bercorak Sumenep. Hal ini menurut keterangan beberapa ahli sejarah dan pernisanan di Sumenep bisa disimpulkan bahwa komplek tersebut memang dipastikan berasal atau bersusur galur pada keluarga Sumenep di abad 18 atau 19 Masehi. Karena di masa itu masih ada tradisi membawa ciri khas model nisan daerah asalnya, meski dikuburkan di tempat yang jauh dari tanah kelahirannya.

Asal usul Kiai Adhimah Mangaran, dan Jejak-jejak Keluarga Katandur di Situbondo
Nisan-nisan kuna lain bercorak Sumenep di sekitar pemakaman Kiai Dima. (Foto/Mamira)

(Dikutip dari Buku “Silsilah KIAI MAS SU’UD DAN KIAI DHIMA; Dua Mutiara Madura di Situbondo”, yang disusun M. Farhan Muzammily dkk)