Mamira.ID- Madura dan Islam bagaikan dua keping mata uang logam yang tidak bisa dipisahkan. Budaya dan nilai-nilai agama menjadi sebuah akulturasi yang begitu elok dan terasa samar di antara keduanya. Terkadang, sebuah budaya seakan ajaran dan anjuran agama bagi masyarakat Madura. Sehingga, sebuah tradisi dan budaya sangat berakar dan terasa sulit untuk dilepaskan.
Seperti lahirnya tradisi kesenian samman, sebuah tradisi dan akulturasi yang mempunyai pengaruh besar dalam penyebaran agama Islam. Sebab, samman selain sebagai ajang untuk silaturahmi antar masyarakat, di dalamnya terdapat nilai-nilai keislaman serta pengembangannya.
Samman adalah suatu kegiatan yang telah menjadi sebuah tradisi dalam masyarakat Madura dengan pertunjukan gerakan dan pujian suci yang membentuk sebuah pusat lingkaran. Munculnya kesenian samman bermula dari Tarekat Sammaniyah. Tokoh yang populer dengan sebutan nama Syekh Muhammad bin Abdul Karim As-Sammani.
“Tradisi kesenian samman memang sudah sejak dulu kala adanya di Madura ini kisaran abad ke-18. Samman berisi puji-pujian kepada Allah SWT yang diucapkan secara berulang-ulang seperti kalimat La ilaha illallah atau Allah Allah yang diikuti dengan gerakan tubuh seperti bertepuk tangan sambil berkeliling membentuk sebuah lingkaran,” ujar Bapak Rembes, salah satu Ketua Perkumpulan Samman, Desa Ketawang Larangan, Kecamatan Ganding.
Di balik tradisi kesenian samman, menyimpan sejuta makna dan sebuah akulturasi antara nilai-nilai agama dan budaya. Hal ini bisa kita lihat : Pertama, sebuah makna yang erat kaitannya dengan hubungan manusia dengan Tuhan-Nya, Allah SWT Tuhan semesta alam atau hablum minallah. Kedua, ritual samman memberi makna sebuah etika tata krama antar sesama manusia atau hablun minannas. Ketiga, ritual samman mengandung makna hubungan manusia dengan lingkungannya guna terwujudnya kehidupan yang baik serta memperoleh kebahagiaan yang sejati.
Ada beberapa gerakan yang dilakukan dalam tradisi kesenian samman. Pertama, duduk di atas lutut seperti posisi duduk tasyahud awal dalam shalat dengan formasi membentuk lingkaran sambil bertepuk tangan dan membaca pujian dengan teratur, disusul dengan posisi berdiri membentuk lingkaran.
Selanjutnya, setelah formasi membentuk lingkaran, salah satu tokoh berdiri di tengah-tengah lingkaran tersebut mengatur irama tepuk tangan dan melantunkan puji-pujian dan senandung shalawat kepada Baginda Rasulullah SAW.
“Setiap gerakan dalam kesenian samman mempunyai makna tersendiri, seperti gerakan berputar membentuk lingkaran dan lantunan kalimat zikir serta irama tepuk tangan yang begitu sangat teratur. Keseluruhan memiliki makna keagungan Tuhan serta pentingnya sebuah rutinitas ibadah dalam rangka memcapai kebahagiaan yang hakiki. Kesenian samman ini merupakan sebuah upaya atau ajaran ketauhidan yang berbentuk tarekat guna kebahagiaan ukhrawi” terangnya.
Roda-roda kehidupan berputar seiring arus perkembangan zaman. Tradisi kesenian samman yang sudah menjadi tradisi ini kian hari kian memudar terutama di belahan Pulau Garam, Madura. Bahkan, sudah kurang diminati masyarakat. Hal ini terbukti dengan semakin sedikitnya masyarakat yang melakukan tradisi khas ini.
Biasanya, perkumpulan tradisi ini dilakukan setiap malam minggu di rumah masyarakat secara bergantian, atau lebih dikenal dengan istilah kompolan samman (bahasa Madura). Namun akhir-akhir ini, di Madura, khususnya Sumenep, sudah jarang ditemui perkumpulan tersebut.
“Maka dari itu, guna melestarikan kesenian yang sudah menjadi tradisi ini merupakan tugas para generasi atau para pemuda saat ini untuk belajar atau mengikuti acara ritual samman ini. Sebab, kalau bukan para pemuda, terus siapa lagi? Yang tua yang mengerti tentang kesenian ini tidak selamanya akan sehat dan tidak selamanya bisa melestarikan kesenian yang sudah menjadi tradisi ini,” pungkas Pak Rembes yang usianya hampir seabad ini.
Jangan lupa tonton juga video Mamira.ID di youtube:
Penulis: Abd Warits
Editor: Mamira.ID