Mamira.ID – Setiap Kabupaten di Madura memang memiliki keunikan dan keistimewaan masing-masing yang tidak sama satu sama lainnya. Mungkin juga tidak banyak yang tahu jika salah satu kabupaten di Madura memiliki keunikan yang hanya dimiliki oleh beberapa daerah lain di Indonesia bahkan hanya beberapa negara di dunia.
Salah satu daerah di Madura yang memiliki keunikan dan tidak dimiliki oleh daerah lain di Madura adalah kabupaten dengan ikon Arek Lancor, di daerah ini terdapat api abadi atau familiar dengan sebutan Api Tak Kunjung Padam oleh masyarakat Madura umumnya. Dikatakan Api Tak Kunjung Padam karena api tersebut terus menyala tanpa mengenal musim dan waktu. Persisnya, api abadi tersebut terletak di Desa Larangan Tokol, Kecamatan Tlanakan.
Api Tak Kunjung Padam di Pamekasan tersebut memang merupakan tempat wisata yang unik sekaligus menakjubkan, dan tentunya tak pernah sepi pengunjung. Lokasinya tidak terlalu jauh dari pusat kota Pamekasan yang berjarak kurang lebih 4 km dengan lama perjalanan sekitar 15 menitan. Sementara jika ditempuh dari Kota Surabaya membutuhkan waktu kurang lebih 2,5 hingga 3 jam perjalanan melewati Jembatan Suramadu.
Sahabat Mamira.ID sudah pernah berkunjung kesana? Sudah tahu kisah dibalik api yang terus berkobar tersebut?
Api Tak Kunjung Padam tak serta merta muncul begitu saja, namun keberadaan api abadi tersebut menyimpan sebuah kisah yang turun-temurun terus diceritakan ke anak cucu masyarakat Madura, khususnya masyarakat Kabupaten Pamekasan. Kisah tersebut terus melegenda dan dipercaya hingga kini.
Api Tak Kunjung Padam sangat erat kaitannya dengan legenda pernikahan ajaib Kiai Moko. “Kisah awal terbentuknya Api Tak Kunjung Padam ini, bermula dari kisah Kiai Moko yang melakukan pernikahan dengan putri raja pada abad ke XVI,” kata bapak Helmi, saat tim Mamira.ID berkunjung kesana beberapa waktu lalu. Ia merupakan warga desa Larangan Tokol dan sudah puluhan tahun berjualan di tempat wisata Api Tak Kunjung Padam tersebut.
Mendengar penjelasan Pak Helmi, tim Mamira.ID terus menggali informasi terkait kisah dibalik adanya api tak pernah mati tersebut. Sambil duduk santai, pak Helmi meneruskan kisah Kiai Moko.
“Jadi pada abad ke XVI itu hidup seorang penyebar agama Islam yang memiliki kesaktian yang luar biasa, yaitu Kiai Moko dengan nama asli Raden Wignyo Kenongo. Beliau itu sehari-hari hanya sebagai pencari ikan atau kalau sekarang itu disebut nelayan,” katanya.
Dalam kisahnya, Kiai Moko kebingungan ketika mendengar kabar bahwa akan kedatangan rombongan kerajaan dari Palembang dan akan tiba di kediamannya dalam waktu dekat. Kedatangan rombongan orang istimewa tersebut bukan tanpa sebab. Sebelumnya, Kiai Moko telah berhasil menyembuhkan putri raja bernama Siti Suminten.
Berkat pertolongan Kiai Moko sang putri raja tersebut sembuh dari sakitnya, hingga akhirnya sang raja ingin menikahkan putrinya dengan Kiai Moko sebagai imbalan. Sebagai orang biasa dan hidup ditengah keterbatasan, Kiai Moko kebingungan menyambut kedatangan seorang raja beserta rombongan.
“Kiai Moko ini hidup sangat sederhana, beliau bingung bagaimana cara menyambut raja dan rombongannya. Kemudian, ditengah kebingungannya, akhirnya Kiai Moko memutuskan untuk bersemedi dan memohon pertolongan pada sang pencipta. Setelah sekian waktu bersemedi, kemudian Kiai Moko menancapkan tongkatnya ke tanah. Seketika itu juga tercipta istana yang begitu megah, sumber mata air dan juga api sebagai penerangannya,” terang Pak Helmi dengan wajah serius yang diikuti senyum kemudian.
Setelah itu, berlangsunglah pernikahan Kiai Moko dengan putri raja tersebut. Pernikahan tersebut berjalan dengan lancar. Namun setelah pernikahan itu selesai dilaksanakan, istana dan sumber air itu langsung hilang saat itu juga, hanya tersisa api yang terus menerangi lahan itu.
“Kiai Moko itu sudah menyuruh api itu untuk kembali ke asalnya, tapi api itu berkata ke Kiai Moko, ‘biarkan si api itu tetap disana untuk menerangi dan menemani Kiai Moko dan seluruh anak cucunya hingga akhir hayat nanti’. Dan api tersebut masih ada sampai sekarang dan tidak pernah padam, entah itu pada saat musim kemarau maupun musim hujan,” jelas Pak Helmi.