MAMIRA.ID – Nama Kiai Agung Raba di Sumedangan, Pademawu, Pamekasan hingga saat ini terus terpatri di lembaran sejarah emas Pamekasan-Sumenep. Wali agung asal Madura Timur yang hijrah ke Pamekasan itu masyhur dengan banyak karomahnya yang terus diceritakan dari zaman ke zaman. Khususnya setelah peristiwa kemarau panjang, hujan, dan sekaligus banjir selama 41 hari 41 malam di bumi Gerbang salam sekitar paruh pertama abad 17 Masehi.
Sejak peristiwa tersebut, karomah tokoh yang bernama asli Kiai Abdurrahman itu terdengar seantero Pamekasan. Bahkan sampai keluar wilayah kekuasaan raja di sana. Hal inilah kemudian yang menarik banyak orang untuk mendatangi Raba. Mulai dari ingin bertemu Kiai Abdurrahman, meminta ijin untuk tinggal di dekat beliau, hingga permintaan untuk menjadi santri Kiai Abdurrahman.
Keinginan untuk ikut menempati alas Raba tidak bisa ditolaknya. Apalagi kawasan itu sudah dihadiahkan pada beliau oleh Ronggosukowati. Namun lain halnya dengan keinginan untuk nyantri. Kiai Abdurrahman dengan rendah hati mengakui jika bukanlah orang alim di bidang agama, dan tidak bisa mengajar. Tapi di luar dugaan, kerendah-hatian beliau itu membuat keinginan banyak orang untuk nyantri tambah kuat.
Tidak ingin mengecewakan mereka, Kiai Abdurrahman meminta waktu beberapa hari untuk mengambil keputusan. Pesannya yang lain, beliau malah meminta mereka yang ingin ngaji itu membawa bekal kitab yang dimiliki untuk dipelajari lebih dulu sebelum mengajar.
Tumpukan kitab warga yang ingin nyantri hampir memenuhi ruangan bilik beliau di Raba. Sontak, Kiai Abdurrahman tambah bingung. Beliau memang merasa bukanlah orang alim yang bisa mengajar kitab-kitab klasik bertuliskan “arab gundul” itu. Hingga di tengah kebingungannya itu beliau tertidur, dan asopenna didatangi Rasulullah SAW bersama keempat sahabatnya; Sayyidina Abubakar, Umar, Utsman, dan Ali radliyallahu anhum. Lalu Rasul bersabda pada Kiai Abdurrahman.
“Hai Abdurrahman, buka mulutmu lebar-lebar. Aku akan memberimu ilmu,” perintah Kangjeng Nabi.
Kiai Abdurrahman lalu mengikuti Rasul. Setelah membuka mulut, Rasul meludah ke dalam mulut Kiai Abdurrahman itu. Setelah Beliau Saw, keempat sahabat juga melakukan hal yang sama. Begitu air ludah Rasulullah dan keempat sahabatnya itu ditelan dan sampai ke perut, Kiai Abdurrahman terbangun. Hingga keesokan harinya beliau menelaah makna mimpinya itu.
Pagi harinya, warga yang ingin nyantri berbondong-bondong lagi mendatangi Kiai Abdurrahman. Sang Kiai tak lupa menceritakan mimpinya. Beliau menyimpulkan bahwa selain memperoleh kemuliaan mimpi tersebut, Rasul mengisyaratkan bahwa beliau harus memenuhi permintaan warga yang ingin nyantri itu.
Para calon santri itu tak terlukiskan senangnya mendengar mimpi sekaligus kesediaan Kiai Abdurrahman menerima mereka. Hari itu juga sang Kiai mutola’ah kitab. Beliau langsung morok (mengajar) dengan lancar, jelas, fasih dan mendalam. Pemahaman dan cara memberi pemahaman pada santri sangat luar biasa. Nama Kiai Abdurrahman semakin masyhur, dan santri terus berdatangan dari segenap penjuru. Kiai Abdurrahman lantas dikenal dengan sebutan Kiai Raba atau Kiai Agung Raba. Kiai Agung bermakna kiai terbesar, karena setelah beliau hingga beberapa generasi juga menyandang sebutan Kiai Raba.