Mamira.ID – Mendengar namanya saja sudah tentu menjadikan sebagian orang merasa geli, bahkan menjijikkan, apalagi memakannya. Bagaimana tidak, serangga jenis Ordo Diptera ini menyimpan 600 bakteri sehingga dapat mencemari makanan yang dihinggapinya, justru malah dibikin sate? Tapi tenang, sate ini bukanlah sate yang terbuat dari lalat sungguhan, melainkan hanya meminjam nama, atau istilahnya saja.
Di Kabupaten Pamekasan, tepatnya di kawasan kuliner Sae Salera terdapat kuliner yang menggunakan nama serangga ini sebagai ciri khasnya. Berbanding terbalik dengan lalat yang dibenci banyak orang, kuliner ini justru diminati banyak orang karena rasanya yang lezat dan membuat siapa pun ketagihan.
Tim Mamira.ID sempat singgah di kawasan kuliner Sae Salera yang terletak di jantung kota tersebut. Tepatnya di Jalan Niaga, sekitar 400 meter dari Taman Adipura, Kabupaten Pamekasan atau biasa dikenal dengan nama Arek Lancor. Di kawasan kuliner Sae Salera ini terdapat banyak penjual kuliner khas nusantara, dari kuliner jadul hingga kekinian.
Di sini juga terdapat beberapa penjual sate lalat yang legendaris, di antaranya : warung sate lalat Pak Ento, warung sate lalat Pak Muhsin, dan warung sate lalat Pak Cipto. Kemudian tim Mamira.ID sepakat untuk menjajal kelezatan sate dengan nama unik ini.
Kebetulan, warung sate lalat yang dikunjungi tim Mamira.ID adalah warung sate lalat milik Pak Ento. Di sana kami dilayani oleh Pak Sugi, beliau merupakan salah satu pekerja dari warung sate lalat Pak Ento. Sebelum mengobrol banyak dengan Pak Sugi, kami langsung memesan dua porsi sate lalat.
“Sate lalat ini sudah lama ada, warung ini saja sudah 30 tahun lebih didirikan dan selalu ramai pembeli. ini saja sudah generasi ke-2, kan Pak Ento sudah meninggal, jadi diteruskan oleh menantunya, yaitu H.Dodik. Makanya, sekarang diberi nama Warung Sate Lalat Pak Ento / H.Dodik,” ucap Pak Sugi sembari sibuk menyiapkan sate lalat pesanan kami.
Beliau juga menjelaskan bahwa dipilihnya nama sate lalat itu sudah turun-temurun. “Jadi, nama sate lalat ini bukanlah nama baru, akan tetapi sudah ada sejak dulu. Nah, mengapa sate ini diberi nama sate lalat? Karena, bentuk daging satenya dipotong lebih kecil, sehingga tidaklah sama dengan sate-sate lain pada umumnya. Makanya sate ini dinamakan sate lala’ oleh orang Madura, khususnya orang Pamekasan, meski sebenarnya ukurannya tidak persis sebesar lalat,” ucap beliau diikuti tawa kecil.
Warung-warung makan di kawasan kuliner ini memang selalu ramai dengan pelanggan, termasuk warung sate lalat Pak Ento. Ratusan porsi ludes terjual setiap harinya.
“Setiap hari, sate ini bisa habis sekitar 50-100 porsi, bahkan bisa lebih. Apalagi setiap malam Minggu, bisa ramai pembeli di sini, muda-mudi banyak kumpul,” ucapnya.
Di tengah ramainya pembeli, kami sempat berbincang dengan salah satu pelanggan di sana, beliau adalah Pak Soleh. “Saya sering membeli kuliner sate lalat ini, soalnya rasanya berbeda dengan warung-warung lain, bumbunya enak, bikin ketagihan, kadang saya mampir ke sini bersama keluarga,” tegas Pak Soleh sambil menikmati seporsi sate lalat.
Pak Soleh merupakan pelanggan setia yang tinggal di Kabupaten Pamekasan, dan dirinya mengakui kelezatan sate tersebut.
“Dari banyaknya kuliner di Pamekasan, kuliner sate lalat merupakan salah satu yang wajib dicoba. Sate lalat rasanya memang enak, dan juga sensasinya berbeda dengan makan sate biasa itu,” terangnya dengan senyuman, seraya tangan kanannya meraih segelas es teh, kemudian meneguknya.
Daging yang digunakan untuk sate lalat ini sama persis dengan sate Madura, dan sate-sate lain pada umumnya, yaitu daging ayam, sapi dan kambing.
“Sate lalat ini sama kok dengan sate-sate lain pada umumnya, yakni dari daging ayam, kambing, dan sapi. Hanya bedanya pada potongan dagingnya saja. Kalau racikan bumbunya, tentu saja saya rahasiakan,” kata Pak Sugi sambil tertawa, sementara tangannya terus mengipas sate pesanan pelanggan.