Lesap, Pemuda di Antara Sejarah dan Legenda (Bagian 2)

Mamira.ID – Surat tantangan Ke’ Lesap, jelas membuat Raden Tumenggung Ario Adikoro IV sangat marah. Dalam tulisan sebelumnya, disebutka bahwa nasi yang hendak dimakannya, urung. Bahkan beliau terus berdiri dan menanyakan kepada para pengikutnya, siapa yang bersedia ikut berperang melawan Ke’ Lesap.

Raden Azhar yang menjabat sebagai Penghulu Bagandan, sekaligus mendampingi Raden Tumenggung Ario Adikoro IV waktu ke Semarang sebelumnya, tidak setuju untuk berangkat segera.

Alasannya, karena hari itu adalah hari nahas, dan menganjurkan untuk berangkat keesokan harinya saja. Tetapi Raden Adikoro IV tidak sabar untuk menunggu semalam saja, ia menanyakan lagi siapa yang sanggup mati bersama-bersama dengan dirinya. Penghulu Bagandan langsung menyahut bahwa ia yang pertama bersedia untuk mati bersama pemimpinnya.

Oleh karena itu dibalaslah surat tantangan Ke’ Lesap tersebut, bahwa Raden Tumenggung Ario Adikoro IV siap meladeni tantangan Ke’ Lesap. Dalam surat balasan ditulis bahwa Ke’ Lesap ditunggu di Desa Bulangan, tempat Raden Azhar molang (mengajar) ngaji. Dan tanpa ditunda-tunda lagi, Raden Tumenggung Ario Adikoro IV beserta para pengiringnya pun berangkat menuju ke Desa Bulangan.

Peristiwa Bulangan

Begitu sampai bumi Gerbang Salam, Raden Azhar terlebih dahulu diperintahkan Adikoro IV agar melakukan penyamaran dan menyelidiki keadaan kota atau sekitar Keraton yang kini dikuasai pasukan Ke’ Lesap.

Setelah tugas itu, Raden Azhar berangkat ke Desa Bulangan menyusul Raden Tumenggung Ario Adikoro IV dan melaporkan suasana terkini di kota atau sekitar keraton Pamekasan.

Baca Juga:  Ekskavasi Kangean: Jejak Arus Migrasi Masa Praaksara

Di dataran yang luas dengan tepi yang curam, pasukan Pamekasan yang dipimpin langsung oleh Raden Tumenggung Ario Adikoro IV bersama Raden Azhar Penghulu Bagandan, berjaga-jaga menunggu kedatangan pasukan Ke’ Lesap dari arah Selatan yang telah menguasai kota.

Dataran itu kini disebut Ombaran. Pasukan Ke’ Lesap akhirnya datang dari arah Selatan dengan jumlah yang sangat banyak, karena merupakan gabungan dari pasukan Sumenep dan Pamekasan yang telah ditaklukkan.

Setelah melalui beberapa jebakan yang dibuat oleh pasukan Raden Adikoro IV, akhirnya sampai juga pasukan Ke’ Lesap di dataran Ombaran itu. Pertempuran pun berlangsung dengan sengitnya, Raden Tumenggung Ario Adikoro IV dan pasukannya mengamuk sedemikian rupa sehingga musuhnya sempat kocar-kacir.

Namun karena jumlah pasukan Raden Adikoro IV sangat sedikit, dan ia sendiri sudah amat lelah maka tidak lama kemudian perutnya terkena senjata sampai ususnya keluar.

Tetapi semangatnya tidak padam, dengan melilitkan ususnya pada tangkai kerisnya, ia terus mengamuk dengan tombaknya. Hingga kemudian tanpa sadar saat mencabut kerisnya, senjata itu mengenai usus yang dililitkan.

Beliau  lantas jatuh dan gugur di medan perang, di Bulangan. Selanjutnya, adipati ini dikenal dengan gelar anumertanya, Tumenggung Seda Bulangan. Jenazah beliau dimakamkan di Asta Kolpajung, dekat dengan pasarean leluhurnya, Panembahan Ronggosukowati.

Melihat pemimpinnya gugur, kendali pasukan diambil alih oleh Raden Azhar. Beliau mengamuk seperti singa. Konon, pertempuran itu berlangsung selama 7 hari 7 malam.

Baca Juga:  Langka, Berikut Peralatan Tradisional Madura yang Terbuat dari Batu

Nah, di saat Raden Azhar mau buang air kecil di sumber depan Langgar Belli’ (welit) tempat beliau molang, terjadilah peristiwa bersejarah selanjutnya. Saat mau buang hajat, sudah menjadi kebiasaan bahwa seluruh azimat yang dipakainya dilepas sementara.

Di saat itu ada salah satu pasukan Ke’ Lesap yang mengetahuinya. Maka pada kala itulah Raden Azhar terkena sabetan senjata musuh. Raden Azhar terluka parah dan dilarikan keluar dari medan pertempuran menuju arah timur.

Pada saat itu darahnya menetes ke tanah, dan jari tangannya terputus. Raden Azhar gugur di desa Bulangan. Menurut cerita, sampai saat ini tanah tempat menetesnya darah Raden Azhar tidak ditumbuhi rumput dan pepohonan lainnya. Sedangkan jari tangannya yang terputus, dikubur di dekat tempat jatuhnya darah Raden Azhar.

Tumbang di Kampung Halaman

Setelah Raden Tumenggung Ario Adikoro IV dapat dikalahkan, maka Ke’ Lesap beserta pasukannya terus menuju ke Bangkalan untuk menaklukkannya.

Di Bangkalan pertempuran hebat pun terjadi, sebab pasukan Panembahan Cakraadiningrat V mengadakan perlawanan sengit. Tapi pada akhirnya pasukan Bangkalan dapat dipukul mundur.

Di kala itu datanglah bantuan Kompeni Belanda dari Surabaya, dan pertempuran kembali berkobar. Tapi bantuan dari Kompeni Belanda tidak dapat bertahan dan terpaksa mundur pula.

Merasa hampir kalah, Panembahan Cakraadiningrat V akhirnya mengungsi ke daerah Malaja, sedangkan Benteng masih bisa dipertahankan oleh Pasukan Kompeni Belanda. Sementara di waktu itu, Ke’ Lesap membuat pesanggrahan di desa Tonjung.

Baca Juga:  Syekh Ali Akbar dan Makna di Balik Nama Pasongsongan

Pada suatu malam Panembahan Cakraadiningrat V bermimpi didatangi petunjuk suara, isinya agar Ke’ Lesap dikirimi seorang perempuan dengan disuruh memegang bendera putih. Maksudnya Bangkalan diminta berpura-pura akan menyerah.

Keesokan harinya, atas perintah Cakraadiningrat V dikirimlah dua perempuan yang didandani pakaian keraton dan disuruh memegang bendera putih, kepada Ke’ Lesap.

Ke’ Lesap pun menerima pemberian itu dengan gembira. Dua wanita  pembawa bendera putih itu pun dibawa ke pesanggrahannya, dengan keyakinan bahwa Bangkalan sudah benar-benar menyerah.

Pada waktu Panembahan Cakraadiningrat V menunggu reaksi Ke’ Lesap setelah dikirimkannya dua wanita yang membawa bendera putih itu, tiba-tiba terlihatlah tombak pusaka Bangkalan Se Nenggala bergetar dan bersinar seolah-olah mengeluarkan api.

Sang Panembahan lantas bangkit dari tempat duduknya dan langsung mengambil tombak pusaka  tersebut. Beliau lalu mengajak pasukannya untuk berangkat berperang guna menumpas pemberontakan Ke’ Lesap.

Sesampainya di Desa Tonjung, Ke’ Lesap sangat terkejut karena Panembahan Cakraadiningrat V datang dengan pasukannya. Perang pun pecah, namun kali ini pasukan Ke’ Lesap kalah, dan menyerah. Panembahan Cakraadiningrat V dengan cepat menusukkan tombak pusaka Se Nenggala ke tubuh Ke’ Lesap yang datang menghampirinya.

Seketika itu Ke’ Lesap langsung meninggal. Lehernya dipotong, dan badannya dipancang di Jembatan Ormang, sebelum Timur benteng. Rakyat Bangkalan yang mengikuti Rajanya berseru “bangka la’an” yang artinya sudah tewas. Oleh karena itu sebagian orang Madura mengatakan bahwa nama Bangkalan itu berasal dari kalimat bangka la’an. (habis)

Red