Mamira.ID-Khusus kalangan pembaca literature sejarah di Madura, atau pecinta kisah-kisah tempo doeloe seputar pulau Garam, mungkin akan pernah sampai pada lembaran atau halaman cerita tentang sebuah pusaka sakti bernama Joko Piturun. Menurut kisah masyhur turun-temurun, pusaka itu berjenis keris. Keris pusaka milik seorang raja terbesar di Pamekasan, yaitu Panembahan Ronggosukowati
Keris itu didapat sang Nata dengan cara yang tak biasa. Banyak cerita mistik seputar keris yang melegenda itu. Termasuk keampuhannya dalam peperangan, dan kisah yang diabadikan dalam beberapa folklore di Madura.
Hadiah dari Tiga Tamu Asing
Dalam buku ” Sedjarah Tjaranja Pemerintahan di Daerah-daerah di Kepulauan Madura dengan Hubungannja” karya Kangjeng Zainalfattah, kisah keris Joko Piturun sangat masyhur. Keris itu disebut Si Joko Piturun atau Se Joko Piturun. Saking ampuhnya keris itu, bahkan dikenal juga dengan nama Kiai Joko Piturun.
Suatu waktu di masa awal duduknya Panembahan Ronggosukowati sebagai Raja di Pamekasan, datang seorang tamu yang mengaku dari suatu tempat. Tamu itu menghaturkan sebuah landiyan (ukiran pegangan) keris kepada Panembahan. Setelah itu tamu tersebut mohon diri.
Keesokan harinya datang seorang lagi yang membawa warangka keris dan bahan-bahan tempat keris. Dan di hari terakhir datang lagi orang asing yang menghaturkan keris.
Sang Panembahan lantas memanggil ahli pandai keris dan menyuruhnya merangkai pemberian tiga orang asing itu. Dan anehnya, semua pemberian itu cocok dan tanpa harus merubahnya lagi menjadi kesatuan sebuah keris yang sangat indah. Panembahan lantas memberi nama Joko Piturun.
Bisa Menghidupkan Orang Mati
Dalam sebuah legenda Pamekasan, keris Jokopiturun sangat bertuah. Suatu saat oleh Panembahan Ronggo dihunuskan pada seorang tahanan kerajaan. Panembahan hanya mengarahkan ujung keris pada tahanan jahat itu, lantas tiba-tiba sang tahanan rebah ke tanah dan mati.
Setelah itu Panembahan menyarungkannya lagi dan kembali menghunus keris. Saat ujung diarahkan pada mayat tahanan itu, dengan ijin Sang Kuasa, tahanan itu bisa hidup lagi.
Kisah kehebatan keris itu pun terdengar seantero negeri, dan menambah kewibawaan Panembahan Ronggo yang dikenal sebagai raja yang arif dan bijaksana. Kisah itu juga menjadi sebab Pamekasan kala itu aman, dan tenteram. Tidak ada satu orang pun yang berani berbuat onar.
Apalagi Panembahan Ronggo dikenal dengan sifat ksatriannya, yang meliputi ketangkasan, keberanian, kesabaran, ketabahan, sopan dan adil. Beliau juga dikenal sebagai penguasa yang tidak suka memperluas wilayahnya dengan cara merebut. Sehingga beliau pun sering kali turun tangan ketika ada pihak yang mengganggu pihak lain.
Pernah suatu waktu, saat pasukan Bali menyerang Sumenep, dan menyebabkan gugurnya Pangeran Lor I, pasukan tersebut menuju Pamekasan. Mendengar itu, Panembahan Ronggosukowati langsung datang sendiri ke tepi kota yang sekarang menjadi desa Jungcangcang. Di sana beliau hancur-leburkan pasukan Bali. Sehingga menurut kisah, tak satupun pasukan Bali yang luput dari maut. Nama Panembahan Ronggo semakin kesohor.
Berselisih dengan Raja Madura Barat
Panembahan Ronggosukowati adalah putra Raden Adipati Pramono, penguasa Sampang. Adipati Pramono bersaudara dengan Kiai Pragalba alias Pangeran Arosbaya. Keduanya sama-sama anak Pangeran Demang Plakaran.
Pengganti Pragalba, yaitu Panembahan Lemah Duwur suatu waktu berkunjung ke Pamekasan, ke sepupunya, yaitu Panembahan Ronggo. Kedatangan tamu agung itu disambut baik oleh Panembahan Ronggo. Semua rombongan Arosbaya dijamu siang malam di keraton Mandilaras.
Suatu hari Panembahan Lemah Duwur menginginkan menangkap ikan di rawa atau kolam ikan yang diberi nama Se Ko’ol, di area keraton. Sebuah rawa besar yang banyak ikannya. Lemah Duwur lantas menyuruh menteri-menterinya agar menangkap ikan. Para menteri lantas melepas busana, sehingga tinggal pakaian dalam, dan menangkap ikan ramai-ramai.
Mendengar Lemah Duwur ada di Se Ko’ol, untuk membantu para tamu, Panembahan Ronggosukowati lantas mengutus menteri-menterinya ikut membantu. Para menteri langsung menceburkan diri ke rawa dengan pakaian lengkap karena saking taatnya pada Ronggosukowati.
Melihat itu, Panembahan Lemah Duwur tersinggung. Lalu mengajak para pengawal dan menterinya pulang ke Arosbaya tanpa pamit lebih dulu pada Panembahan Ronggo.
Tak berapa lama, kabar itu didengar Panembahan Ronggo. Beliau pun marah dan menyusul Lemah Duwur hingga ke Sampang dengan berjalan kaki. Sementara para prajurit di belakangnya membawa kuda. Namun kudanya hanya dituntun. Sesampainya di Sampang, Panembahan Ronggo bertemu adiknya, Adipati Sampang. Kepada sang adik diceritakan perihal Lemah Duwur.
Menurut keterangan sang adik, didapatlah kabar jika Lemah Duwur sudah sampai di Blega, dan sempat beristirahat di bawah pohon sambil bersandar. Pohonnya ditunjukkan kepada Ronggosukowati.
Lantas Panembahan Pamekasan itu menghunus keris Joko Piturun, dan menusukkan ke pohon yang disandari Lemah Duwur. Ronggosukowati lantas kembali ke Pamekasan.
Beberapa hari setelah itu, datanglah kabar ke Pamekasan berupa surat dari permaisuri Lemah Duwur. Bahwa di hari Ronggosukowati menusukkan keris Joko Piturun ke pohon di atas, Lemah Duwur bermimpi tertusuk keris tersebut. Keesokan harinya, bekas tusukan dalam mimpi itu menjadi sebuah bisul besar dan terasa hebat sakitnya. Setelah dua hari, Panembahan Lemah Duwur wafat.
Mendengar itu, Panembahan Ronggosukowati menyesal dan menuju kolam rawa Se Ko’ol dan melemparkan keris Joko Piturun ke dalam rawa. Selepas itu datanglah suara: “seandainya keris Joko Piturun tidak dibuang, sudah tentu Jawa dan Madura hanya selebar daun kelor”.
Panembahan terkejut dan menyuruh para prajurit mencari keris yang dilempar ke kolam itu. Namun setelah lama berusaha mencari, hasilnya nihil. Kejadian itu tercatat pada tahun 1592 Masehi.
Red