Mamira.ID – Nama Kiai Agung Abdullah Batuampar alias Bindara Bungso begitu melegenda dalam lembaran sejarah peradaban Islam di belahan barat Sumenep. Sosoknya yang masyhur sebagai salah satu pembuka tabir keilmuan dan keimanan, serta menjadi leluhur penguasa era dinasti terakhir keraton Sumenep (tahun 1750-1929 Masehi).
Kiai Abdullah Batuampar memiliki peranan penting dalam proses islamisasi kawasan tanah sakral Desa Batuampar dan Sumenep pada umumnya. Beliau mengawali dakwahnya lewat metode pengobatan atau penyembuhan, dan dari situlah ia menyisipkan syiar-syiar keislaman, serta pada akhirnya membuka lahan dalam bidang keilmuan (Madura baca: morok ngaji). Begitu pula dengan para keturunannya, mereka juga melanjutkan perjuangan dakwah sang Kiai yang masyhur sebagai leluhur raja Sumenep.
Lalu, siapakah penerus perjuangan Kiai Abdullah alias Bindara Bungso selepas beliau kembali kepada Sang Khalik? Berikut liputan tim Mamira.ID yang akan mengulas jejak keilmuan di tanah Batuampar, Guluk-Guluk, Sumenep.
Dalam buku Babad Songennep, karya Raden Musa’ied Werdisastra, disebutkan bahwa Kiai Ibrahim dengan nama Kiai Saba, sebuah nama laqab yang menyematkan pada sebuah tempat. Ia merupakan salah satu putra dari Kiai Abdullah Batuampar, saudara seayah dengan Kangjeng Tumenggung Tirtanegara, Bindara Saot, Penguasa Sumenep tahun 1750-1762 Masehi.
Bindara Ibrahim alias Kiai Saba terlahir dari rahim Nyai Kursi, sedangkan Bindara Saot dari rahim Nyai Nurima binti Kiai Khatib Bangil Parongpong. Keduanya sama-sama putra dari Kiai Abdullah Batuampar.
“Kalau di Batuampar, beliau lebih dikenal dengan Bindara Ibrahim. Sebutan Kiai Saba mungkin karena hidupnya, beliau bermukim di kawasan kampung yang terletak di persawahan, maka kemudian disebut Kampung Saba (Madura baca: kampong Saba). Makanya, nama beliau dinisbatkan pada tempat tersebut, yakni Kiai Saba,” terang R.B. Jakfar Shadik, salah satu pemerhati sejarah Sumenep.
Sejak kecil beliau bersama kakaknya yakni Bindara Saot sama-sama mengaji pada pamannya, yakni Kiai Faqih Lembung, Lenteng, Sumenep. Kiai Faqih merupakan saudara kandung Nyai Nurima binti Kiai Khatib Bangil Parongpong.
Keturunan Bindara Ibrahim
Setelah menginjak usia dewasa, Bindara Ibrahim menikah dengan Nyai Arum, dan menetap atau bermukim di Batuampar. Sedangkan Bindara Saot menikah dengan Nyai Izzah, yang kemudian meninggalkan bumi Batuampar dan menetap di kawasan Desa Lembung Barat, Kecamatan Lenteng, Sumenep.
“Nyai Arum dan Nyai Izzah merupakan putri dari Nyai Galu Parongpong dengan suaminya yang bernama Kiai Jalaluddin. Jadi, jika diurai dengan jelas, kakak beradik putra Kiai Abdullah Batuampar tersebut dinikahkan dengan kedua putri dari Nyai Galu. Keduanya mengikat janji suci sepupuan. Sebab, beliau berempat sama-sama cucu dari Kiai Khatib Bangil Parongpong,” terang Jakfar.
Dalam Babad Songennep juga dijelaskan bahwasanya pernikahan Bindara Ibrahim dengan Nyai Arum dikaruniai beberapa putra-putri, di antaranya : Kiai Zakariya alias Tumenggung Mangsupati (Patih Sumenep di masa Panembahan Natakusuma), Kiai Nugrahan alias Penghulu Mardikan Batuampar I, Ramana Molasir, Kiai Parisin, Nyai Bara’, dan Nyai Suriya.
“Di antara beberapa keturunan Bindara Ibrahim yang cukup terkenal ialah Kiai Tumenggung Mangsupati dan Kiai Nugrahan. Kiai Tumenggung Mangsupati banyak menurunkan pembesar keraton Sumenep dinasti terakhir. Sedangkan Kiai Nugrahan yang mengganti ayahnya di Batuampar, banyak menurunkan alim ulama di kawasan Batuampar dan Sumenep pada umumnya,” terang Jakfar.

Pasarean Bindara Ibrahim
Tak banyak riwayat masa peri kehidupan Bindara Ibrahim alias Kiai Saba, serta tidak ditemukan juga riwayat wafatnya. Para keluarga besar Batuampar, termasuk keturunan beliau, hanya mengetahui posisi pasarean sang Kiai yang menjadi penerus estafet Bindara Bungso atau Kiai Batuampar Sepuh.
Namun, meski tak diketahui seputar perjalanan hidup Bindara Ibrahim, keberadaan generasi penerusnya dikenal mumpuni, dan terus menjadi jujukan umat di masanya hingga era sekarang ini.
Pasarean Bindara Ibrahim berada di sebelah timur pasarean Kiai Abdullah. Asta beliau begitu sederhana dan masih terjaga kesitusannya. Nisannya masih tampak asli dan selalu terbungkus kain berwarna putih dan hijau. Jiratnya terkesan menyerupai asta ayahandanya. Hanya saja, ukurannya lebih kecil serta lebih rendah, tidak setinggi jirat asta sang ayah.
“Asta Bindara Ibrahim masih berada di kawasan asta utama Batuampar, Kecamatan Guluk-guluk, Sumenep. Sebuah cungkup menjadi tempat peristirahatan terakhir sang wali Allah, penerus estafet dari Bindara Bungso, ” pungkas Jakfar.
Tonton juga video Mamira.ID di youtube:
Penulis: Abd Warits
Editor: Mamira.ID