Perjuangannya Nyaris Tak Disebut Dalam Sejarah Sumenep, Siapa Tumenggung Mangsupati?

Mamira.IDJika berkunjung ke Kabupaten Sumenep, sudah tentu kita akan dimanjakan dengan berbagai destinasi wisata religi. Seperti halnya Masjid Jami’, sebuah bangunan bersejarah yang menjadi ikon Kota Keris, dan kemegahan serta pesona artistik Asta Tinggi, tempat para raja, kerabat, dan para patih atau tumenggung dimakamkan.

Namun, tidak semua tumenggung dimakamkan di kompleks atau area Asta Tinggi, seperti halnya makam Tumenggung Mangsupati, makamnya terletak di Desa Pamolokan, ke arah utara dari pusat keadipatian atau keraton Sumenep.

Nama Tumenggung Mangsupati memang tidak begitu populer dalam lembaran sejarah Sumenep. Kiprah perjuangannya nyaris tidak pernah disinggung. Hanya keterangan dalam lembaran genealogi yang berakar pada sejarah lisan dan bersifat kekeluargaan, nama beliau terabadikan.

Dalam Babad Songenep, karya Raden Musa’ied Werdisastra disebutkan, bahwasanya Tumenggung Mangsupati merupakan gelar Patih Sumenep di masa Panembahan Natakusuma alias Raden Asiruddin, putra dari Kangjeng Tumenggung Tirtanegara, Bindara Saot.

“Kemungkinan besar, pengangkatan Tumenggung Mangsupati sebagai Patih Sumenep adalah pasca gugurnya Kiai Angabai Patih Mangundireja di tangan tentara Inggris pada tahun 1728 Masehi,” ujar R. B. Nurul Hidayat, salah satu pemerhati sejarah Sumenep.

Baca Juga:  Situs Kiai Wiradipura, Serpihan Sejarah Tersembunyi di Area Luar Asta Tinggi

Jalur Nasab Tumenggung Mangsupati

Dalam catatan silsilah keluarga Keraton Sumenep, Tumenggung Mangsupati mempunyai nama daging Kiai Zakariya. Beliau merupakan salah satu putra Bindara Ibrahim alias Kiai Saba, putra dari Kiai Abdullah Batuampar, sosok ulama yang menetap di kawasan Desa Batuampar, Kecamatan Guluk-guluk, Sumenep.

Bindara Ibrahim alias Kiai Saba adalah saudara seayah Kangjeng Tumenggung Tirtanegara, Bindara Saot, penguasa Sumenep yang memerintah dari 1750-1762 Masehi. Keduanya sama-sama putra Kiai Abdullah Batuampar.

Ibu Bindara Ibrahim bernama Nyai Kursi, sedangkan ibu Bindara Saot bernama Nyai Nurima. Garis nasab Tumenggung Mangsupati dengan Panembahan Natakusuma sama-sama bertemu pada jalur kakeknya yang bernama Kiai Abdullah Batuampar. Sehingga, dengan demikian, di antara keduanya memiliki hubungan kekerabatan. Jadi, tidak heran, jika sang Nata menunjuk Kiai Zakariya menjadi Patih Sumenep pasca wafatnya Kiai Patih Mangun.

Keduanya tidak hanya bertemu dari jalur nasab ayahnya saja, namun dari nasab jalur ibu, keduanya juga sama-sama bertemu, atau bersambung pada tokoh agung di tanah Parongpong. Ibunda Tumenggung Mangsupati bernama Nyai Arum. Sedangkan ibunda sang Nata bernama Nyai Izzah. Sosok kedua ibu tersebut sama-sama putri dari pasangan Kiai Jalaluddin dengan Nyai Galu.

Baca Juga:  Legenda Jokotole I: Dibuang Saat Masih Bayi, Jadi Raja Sumenep Kemudian

“Dalam catatan silsilah keluarga keraton Sumenep, Kiai Zakariya mempunyai beberapa putra dan putri, di antara Raden Ayu Sastradipura, Raden Panji Prawirakusuma, Raden Wiradipura, Raden Ayu Werdisastra I, Raden Ayu Pangolo Batuampar, dan Raden Ayu Khatib  Abdullah,” terang Nurul Hidayat.

Ket.Foto: Beberapa makam yang terdapat di dalam cungkup atau kubah makam Tumenggung Mangsupati. (Mamira.ID)

Pasarean Terakhir Sang Patih

Pasarean Tumenggung Mangsupati berada Desa Pamolokan, Kecamatan Kota, Kabupaten Sumenep. Tepatnya, di sebelah utara jalan utama Pamolokan, atau di seberang Pemakaman Umum Jeruk Purut, Sumenep. Tampak kubah atau cungkup kuna berdiri kokoh tidak jauh dari pemukiman penduduk.

Meski saat ini kurang terawat, kubah tersebut masih terkesan sangat istimewa dan megah. Gaya kubah makam beliau mengadopsi bangunan ala kolonial. Terdapat ornamen simbol padi dan lapik bunga teratai di atas pintu masuknya. Pengaruh Jawa tampak masih melekat pada bangunan kuna tersebut.

Baca Juga:  Menelusuri Jejak Reruntuhan Istana Pangeran Banasare di Sumenep

Tidak semua orang bisa masuk ke dalam kubah tersebut, karena pintu kubah berwarna biru tersebut selalu terkunci. Meski demikian, tim Mamira.ID sempat mengambil foto makam melalui sela-sela lubang di atas pintu atau loster.

Terdapat beberapa makam di dalam kubah tersebut. Tampak jelas, nisan dan kijing makam masih terjaga keaslian situs kesejarahannya. Kijing makam terlihat sederhana. Kijing yang demikian merupakan model era pasca pemerintahan Bindara Saot.

“Bangunan megah ini merupakan sebuah penghormatan sang Nata kepada beliau. Sebab, beliau masih kerabat raja yang mengemban tugas sebagai patih keraton Sumenep pada masanya. Tak heran, jika bangunan tersebut cukup megah. Hingga saat ini, masih tampak terjaga keasliannya. Dan semoga ada perhatian dari Pemerintah Kabupaten Sumenep, agar situs sejarah semacam ini tetap terjaga,” pungkas Nurul Hidayat.

Jangan lupa juga tonton video Mamira.ID di youtube:

Mamira.ID