Mamira.ID – Jika pernah berziarah ke Asta Batuampar, Guluk-guluk, Sumenep, atau Asta Kiai Abdullah, mata akan terpana pada sebuah pemandangan yang tak biasa dan sangatlah luar biasa. Pasalnya, ada sebuah pasarean atau makam dengan model sama di sisi bagian paling barat, dan keberadaannya sangat menarik perhatian. Asta tersebut, posisinya tak sejajar dengan asta-asta yang lain.
Asta atau makam itu berada di luar garis, jejeran atau shaf makam. Padahal, makam-makam lain berjejer lurus dan tertata dengan rapi. Usut punya usut, pasarean tersebut merupakan pasarean salah satu putra Bindara Bungso, yang bernama Kiai Asiruddin. Beliau wafat ketika ayahnya masih hidup.
Dalam Babad Sumenep, karya Raden Musa’ied Werdisastra, disebutkan bahwasanya Kiai Asiruddin merupakan anak dari Bindara Bungso. Beliau berjuluk Kiai Bandungan atau Bindara Bandungan. Bandungan merupakan sebuah desa yang berada di Kecamatan Pakong, Kabupaten Pamekasan. Desa tersebut, lokasinya berada di batas wilayah Sumenep dengan Kota Gerbang Salam, Pamekasan, Madura.
Dikisahkan beberapa tahun setelah mangkatnya Kiai Asiruddin, sang ayah alias Bindara Bungso juga menghadap ke hadirat Ilahi Rabbi. Jenazah Bindara Bungso lantas dimakamkan lurus berjejer di sebelah timur asta Kiai Asiruddin atau Bindara Bandungan. Namun, atas izin Allah SWT, keesokan harinya, makam Kiai Asiruddin berpindah tempat. Makam tersebut mundur (Madura: nyorot). Posisi kijing bagian kepala mundur, dan jika ditarik lurus berada di posisi bagian kaki pasarean ayahandanya, yakni Bindara Bungso.
Menurut sesepuh keluarga besar Batuampar, asta yang pindah posisi atau mundur itu karena bentuk takzim. Jadi, Kiai Asiruddin merasa kurang beradab (Madura: cangkolang) jika posisi astanya sama dengan sang ayah. Sehingga, karena takut cangkolang, pasarean beliau pindah tempat. Kejadian ini merupakan salah satu karamah bagi para wali Allah SWT.
“Bekas makam asal Kiai Bandungan hingga awal tahun 2000-an masih ada. Namun, kini bekas itu sudah hilang saat area Asta Batuampar mengalami renovasi dan pemasangan cungkup. Dulu, ada tanda berupa batu berbentuk persegi,“ terang R.B. Jakfar Shadik, salah satu pemerhati sejarah Sumenep.
Dalam catatan silsilah Keraton Sumenep, Kiai Asiruddin bersaudara seayah se-ibu dengan Bindara Ibrahim alias Kiai Saba, penerus estafet perjuangan Bindara Bungso di Batuampar. Beliau juga bersaudara lain ibu dengan Kangjeng Tumenggung Tirtanegara Bindara Saot (Penguasa Sumenep tahun 1750-1762 Masehi).
Ibu Kiai Asiruddin bernama Nyai Kursi, sedangkan ibu dari Bindara Saot bernama Nyai Nurima. Keduanya sama-sama putra Kiai Abdullah alias Bindara Bungso, yang memiliki kealiman dan keduanya berpangkat wali Allah.
“Jadi, Kiai Asiruddin dengan sang Nata Bindara Saot itu bersaudara lain ibu. Masyarakat Batuampar menyebut nama Asta Kiai Asiruddin dengan sebutan Bhuju’ atau Asta Nyorot. Sebab, didasarkan pada peristiwa ajaib tersebut,” pungkas Jakfar.
Tonton juga video Mamira.ID di youtube:
Mamira.ID