Kisah Takzim Sang Wali dari Alam Barzakh

MAMIRA.ID – Salah satu kejadian luar biasa setelah masa kenabian ialah karomah. Anugerah yang diberikan Sang Khaliq pada para kekasihNya, yaitu para arif billah atau orang-orang berpangkat wali. Bahkan karomah tersebut tidak hanya diperlihatkan saat para kekasih itu masih hidup atau dalam kejadian khusus sebelum dilahirkan ke dunia ini, namun juga pasca berpulangnya keharibaan al-Haq.

Seperti kejadian di antara kisah-kisah waliyullah di bumi Madura. Kisah yang masyhur ini terjadi di kawasan Madura Timur, tepatnya di Desa Batuampar Kecamatan Guluk-guluk Kabupaten Sumenep, di komplek wisata religi Asta Kiai Agung Abdullah alias Entol Bungso.

Saat ziarah ke pasarean Kiai Agung Batuampar, ada sebuah pemandangan tak biasa. Sebuah pasarean atau makam dengan model sama di bagian paling barat itu menarik perhatian peziarah.

Baca Juga:  Mengenal Para Pangeran dan Putri Giri Kedaton yang Bertahta di Nusa Madura

Pasalnya, makam itu berada di luar garis atau shaf. Padahal makam-makam lain berjejer lurus. Usut punya usut pasarean itu adalah pasarean salah satu putra Bindara Bungso yang wafat ketika ayahnya masih hidup. Kiai Asiruddin namanya.

Kisah Takzim Sang Wali dari Alam Barzakh
Pasarean Kiai Bandungan di Batuampar Sumenep. (Fot0/Mamira)

Dalam buku sejarah maupun babad, Kiai Asiruddin ini dikenal dengan nama Kiai Bandungan. Bandungan merupakan sebuah Desa di Kecamatan Pakong, Pamekasan. Berada di batas wilayah Sumenep dengan Kota Gerbang Salam.

Diriwayatkan, beberapa tahun setelah Kiai Asiruddin wafat, ayahnya, Bindara Bungso juga menghadap ke hadiratNya. Jenazah Bindara Bungso lantas dimakamkan di sebelah timur Kiai Asiruddin. Lurus atau berjejer. Namun, atas izin Allah SWT, keesokan harinya, makam Kiai Asiruddin berpindah tempat. Makam itu “nyorot” atau mundur. Posisi kijing bagian kepala mundur, dan jika ditarik lurus berada di posisi bagian kaki pasarean ayahnya, Bindara Bungso.

Baca Juga:  Makam Joko Tarub dan Rimbun ‘Bambu Cinta’ di Pamekasan

“Kalau menurut sesepuh turun-temurun istilahnya takzim. Jadi Kiai Asiruddin merasa kurang adabnya jika posisinya sama dengan sang ayah, sehingga karena takut ‘cangkolang’, pasarean beliau pindah tempat. Hal itu merupakan salah satu karomah bagi para waliyullah,”kata salah satu tokoh  di Batuampar, Kecamatan Guluk-guluk,  R. Abubakar.

Bekas makam asal Kiai Bandungan hingga awal milenium kedua masih ada. Namun kini bekas itu sudah hilang saat area pasarean agung di Batuampar itu direnovasi. “Dulu ada tanda berupa batu makam berbentuk persegi. Batu itu memang dibiarkan sejak jaman kuna dulu,”jelas Bakar.

Dalam catatan silsilah Keraton Sumenep, Kiai Asiruddin bersaudara seayah seibu dengan Bindara Ibrahim alias Kiai Saba, yaitu yang mengganti Entol Bungso di Batuampar. Beliau juga bersaudara lain ibu dengan Bindara Saot alias Tumenggung Tirtonegoro, Adipati Sumenep 1752-1762 Masehi.

Baca Juga:  Jejak Tiga Khatib Sumenep Cicit Wali Sanga