Ingin Tahu Alasan Ke’ Lesap Berambisi Taklukkan Madura? Klik di Sini

Mamira.ID–Ke’ Lesap, sosok di antara sejarah dan legenda yang terus mewarnai sejarah perjalanan Madura dari masa ke masa. Pemuda sakti yang tak mendapat pengakuan ayahnya itu sebenarnya tidak sejahat yang digambarkan. Meski di akhir hayatnya, ia harus menerima kenyataan berupa nasib yang sangat tragis.

Dikalahkan oleh dua kekuatan besar dan ditusuk oleh tombak pusaka Se Nanggala. Dalam naskah Madura, setelah tewas pun, tubuhnya dimutilasi. Lehernya dipotong, dan badannya dipancang di Jembatan Ormang, sebelum Timur benteng, di kawasan kabupaten Bangkalan saat ini.

Seperti yang diceritakan dalam edisi sebelumnya, Ke’ Lesap berambisi untuk memegang kendali pemerintahan di seluruh Madura hingga tapal kuda, dan sekaligus Bali. Sehingga setelah mendapat simpati penguasa Madura Barat, ia justru melarikan diri dari tanah kelahirannya itu

Ia meninggalkan kota Bangkalan pada tengah malam dan menuju ke arah Timur. Hingga akhirnya ia sampai di Gua Gunung Payudan di Sumenep. Di gua itulah ia bertapa untuk beberapa bulan lamanya.

Anti Kompeni

Lahir sebagai anak kampung, dari keluarga biasa, bahkan biasa-biasa saja. Meski menurut kisah, ibunya ialah salah satu isteri selir Panembahan Cakraadiningrat V. Namun karena berada di luar kalangan resmi, status ibunya tidak diakui. Imbasnya, status Ke’ Lesap sebagai anak raja juga tidak diakui.

Baca Juga:  Syekh Ali Akbar dan Makna di Balik Nama Pasongsongan

Meski demikian, Ke’ Lesap tidak pernah menyimpan dendam kesumat. Setelah mendapat cerita ibunya tentang siapa sebenarnya ayahnya, Ke’ Lesap justru ingin mengabdikan dirinya lebih dari semua orang di Madura Barat. Bahkan ia pun harus rela menjadi menjadi pengembala kuda Kiai Jiwantaka, seorang abdi dalem kepercayaan raja.

Lambat laun, darah pahlawan di tubuh pemuda yang tak diakui ayahnya itu menggelegak saat menyaksikan dominasi kompeni Belanda terhadap orang pribumi. Hal itu sejatinya tidak mengherankan. Karena jika memang benar Ke’ Lesap putra Cakraadiningrat V, maka tentunya ia adalah cucu langsung Pangeran Cakraningrat IV, Kembangnga Nagara dari Sambilangan itu. Penguasa Madura Barat pada 1718-1746 M.

Seperti diketahui, selain Trunojoyo, Madura Barat memiliki kasus perlawanan sengit dalam catatan Hindia Belanda. Cakraningrat II meski juga tidak senang pada Mataram, kendati penguasanya, Amangkurat IV adalah besannya, awalnya bersikap lunak pada Belanda, dan memilih menjadi bawahan VOC dari pada Mataram.

Namun, peluang konflik Mataram dengan Belanda dimanfaatkannya untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mataram atas Madura Barat yang mulai berkembang hingga beberapa daerah di Jawa Timur. Menghadapi Cakraningrat IV tentu saja Mataram tidak mampu. Sehingga puncaknya Cakraningrat IV bahkan berhasil menduduki Kartasura.

Baca Juga:  Keripik Tette: Camilan dari Singkong Khas Madura

Perang terbuka pun pecah. Belanda kewalahan, dan sempat mencoba jalur perundingan. Cakraningrat IV menolak, perang berlanjut. Sempat unggul, di waktu lain Cakraningrat IV terdesak dan menyingkir ke luar Madura. Puncaknya, beliau tertangkap, dan dibuang hingga Cape Town (Afrika Selatan).

Nah, Ke’ Lesap ternyata mewarisi darah kepahlawanan itu. Pikiran dan nuraninya tidak menerima segala bentuk kerjasama dengan VOC, apapun alasannya. Hingga muncul cita-cita besar yang harus membuatnya berpetualang mulai dari hutan belantara hingga puncak gunung untuk mencari tuah.

Ingin Bangun Negara Sendiri

Rasa hormatnya pada Panembahan Cakraadiningrat V, kendati dirinya anti kolonial, membuat Ke’ Lesap merajut mimpi atau cita-cita yang di luar nalar. Ia ingin menjadi raja yang memerintah lain negara. Bukan merebut negara Madura Barat dari tangan junjungan sekaligus orang yang konon adalah ayahnya.

Tujuan awal Ke’ Lesap, seperti yang disebut dalam buku Babad Songennep (1914) karya Raden Werdisastra, hanya satu, yaitu untuk menghancurkan penjajah Belanda. Setidaknya di bumi Madura.

Cita-cita yang lantas diperjuangkannya dengan berpetualang. Sadar diri bahwa ini bukanlah tokoh yang memiliki pengaruh, dan tidak mempunyai pengikut, maka jalan tengah diambil. Ia asah segenap jiwa raganya dengan mendekatkan diri pada Sang Kuasa. Ke’ Lesap menjalani laku tapa, dan menjauhkan diri dari segala macam pernak-pernik duniawi.

Baca Juga:  Pesona Empat Putri Mahkota dari Madura

Hingga tiba masanya, kekuatan dari dalam dirinya berhasil dimaksimalkan. Ia menjadi tokoh mumpuni dalam hal kanuragan, kesaktian, dan kepemimpinan. Ia bahkan berhasil menguasai separuh Madura. Dan hampir berhasil menguasai keseluruhannya.

Ambisi Yang Menjadi Bumerang

Keberhasilannya menguasai sebagian wilayah Madura, sekaligus menjadi gangguan besar bagi kompeni di sekitar tahun 1749 M, membuat Ke’ Lesap berubah menjadi jumawa. Ia lantas berubah menjadi congkak.

Bahkan setelah berhasil menumbangkan Raja Pamekasan, Adikoro IV yang sakti mandraguna, ia lantas memutuskan menyerang Madura Barat, wilayah kekuasan Cakraadiningrat V yang sejak semula dihormatinya.

Namun, begitulah jika niat awal mulai bergeser. Keinginan mengusir penjajah menjadi ambisi menguasai Madura. Dalam kisah babad, Ke’ Lesap mulai terlena pada gemerlap duniawi. Bahkan ia pun terjebak dalam birahi terlarang bersama dua “persembahan” Cakraadiningrat V yang sejatinya tipu muslihat.

Selama berapa lama ia pun dikisahkan lalai dalam kewajibannya kepada Sang Kuasa. Saat itulah semua kemampuan Ke’ Lesap tercabut. Ia pun harus meregang nyawa di puncak kesombongannya. Petualangannya pun berakhir tragis. Setragis cita-cita mulianya yang dibunuh ambisinya sendiri.

Red