Menelisik Akar Budaya Ojung

MAMIRA.ID – Pada tahun 2019 lalu, Ojung yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda  oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Sayangnya penetapan itu menyisakan sedikit kecewaan bagi sebagian kelompok masyarakat, lantaran ritus yang konon identik dengan masyarakat Sumenep itu, diakui sebagai warisan budaya tak benda dari Kabupaten Situbondo.

Kekecewaan itu diungkapkan oleh salah satu penikmat ojung dari Desa Batuputih, Salimin. Menurutnya, Ojung yang ada di Situbondo sebenarnya tak lepas dari peran serta orang-orang Sumenep yang merantau ke daerah tersebut beberapa puluh tahun yang lalu. Merekalah yang mengenalkan budaya itu hingga menjadi tradisi turun-temurun. Ia juga menyampaikan, seharusnya Sumeneplah yang berhak atas pengakuan tersebut.

Dilansir dari laman kebudayaan.kemdikbud.go.id,  penetapatan Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) merupakan salah satu program pelindungan yang dilakukan oleh Kementerian Kebudayaan sejak tahun 2013 lalu.

Baca Juga:  Kota Tua Kalianget, Saksi Bisu Kejayaan Madura Timur Zaman Kolonial

Program itu dilaksanakan sebagai implimentasi Undang-undang Nomor 5 tentang pemajuan kebudayaan.

Dari laman tersebut juga dijelaskan, jika penetapan warisan budaya tak benda suatu daerah ditetapkan setelah melewati serangkaian proses. Mulai dari pencatatan yang dilakukan oleh masyarakat atau instansi terkait, rekomendasi dari pemerintah provinsi hingga penilaian yang dilakukan oleh kelompok tim ahli yang telah ditunjuk pemerintah.

Terlepas dari saling klaim masyarakat tentang Ojung, tradisi kuno itu pada hakikatnya adalah budaya yang sifatnya universal. Budaya tersebut dapat ditemukan di berbagai daerah lainnya dengan nama dan bentuk kegiatan yang berbeda. Di Jawa Barat dan suku Tengger menyebut tradisi itu dengan nama Ujungan, di Bali dikenal dengan nama Mekare-Kare, Presean di Nusa Tenggara Barat, dan Caci di Nusa Tenggara Timur.

Pigeaud, dalam Javaanse Volksvertoningen. Bijrage tot de beschijving van land en volk menyebut bahwa permainan tradisional itu telah dikenal di seluruh pulau Jawa sejak lama. Sang ahli sastra Jawa itu juga sempat memerikan ojung seperti permainan anggar.

Baca Juga:  Nyai Nurima: Ibunda Sang Nata, Leluhur Penguasa Keraton Sumenep Dinasti Terakhir

Kesamaan ojung dengan tradisi serupa ditempat lainnya dapat dilihat pada tujuan dan teknik permainan. Hampir di semua daerah mengaitkan tradisi tersebut dengan ritus memanggil hujan. Dari sisi teknik permainan, seni pertunjukan itu juga dilakukan oleh dua orang dengan yang memukulkan suatu alat tertentu ke badan.

Jika ditelisik lebih jauh lagi, kesamaan budaya diatas rupa-rupanya tak lepas kebiasaan masyarakat nusantara sejak ribuan tahun silam. Lauhil Fatihah dalam tulisannya, “Neo Evolusi Budaya Tarian Perang dalam Tradisi Ojung Pada Desa Blimbing, Kecamatan Klabang, Kabupaten Bondowoso” menyebut bahwa ojung atau tradisi sejenisnya merupakan warisan panjang yang terlahir dari kebudayaan masyarakat Austronesia.

Kesukaan berburu masyarakat Austronesia melahirkan sebuah tarian perburuan, yang dikemudian hari berkembang menjadi bentuk tarian lain seperti tarian perang. Tarian ini diyakini terus eksis selama ribuan tahun,  hingga dikemudian hari, saat masyarakat Austronesia berkembang pesat, tarian-tarian itu juga turut mengalami proses difusi, akulturasi dan asimilasi budaya. Akibat proses evolusi tersebut, lahirlah bentuk tarian ojung dan tari sejenis lainnya.

Baca Juga:  Nyai Labbuwan: Wali Perempuan Penuh Karomah Putri Kiai Ali Barangbang

Masuknya unsur agama, sosial dan kondisi geografis juga turut serta mempengaruhi peralatan dan tata cara pelaksanaannya.

Di Sumenep, ojung saat ini tak hanya diadakan sebagai bagian dari ritual meminta hujan, sejak tahun 1980-an, Helene Bouvier, seorang peneliti dari Prancis mencatat, Ojung telah memasuki sebua fase barunya sebagai bentuk olaharaga dan pertunjukan spektakuler.  Tak hanya itu, di Bondowoso, seorang guru sekolah dasar, berhasil menciptakan sebuah tari kreasi baru yang terinspirasi dari Ojung.