Mamira.ID – Pohon siwalan atau pohon lontar merupakan tumbuhan sejenis palma yang tumbuh di Asia Tenggara. Di Indonesia sendiri, pohon dengan nama latin Borrassus Flabelliferinn banyak tumbuh di daerah beriklim kering seperti Jawa Timur, Bali, Madura, dan Nusa Tenggara Timur.
Pohon yang juga dikenal dengan pohon kehidupan ini memiliki batang tunggal dan kasar. Namun seluruhnya menyimpan ragam manfaat, dari akar hingga daun. Bungkana tarebung, begitulah orang Madura menyebut pohon berdaun mirip kapas ini. Pohon tarebung tingginya bisa mencapai belasan hingga puluhan meter.
Pohon ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Madura, mulai dari akar, batang, pelepah hingga daun, bahkan bunganya (manggar) disadap untuk diambil sarinya yang kemudian disebut air la’ang. Dari air la’ang itulah kemudian dijadikan gula aren, cuka, dan gula merah.
Namun, pada tulisan kali ini akan fokus pada daun lontar yang kemudian disebut ‘rakara’ oleh orang Madura. Dalam sejarahnya, lontar biasa dijadikan prasasti zaman dahulu. Tak hanya itu, selain sebagai kerajinan, rakara juga dijadikan sebagai alat komunikasi dan media untuk menulis. Naskah dari lontar banyak ditemukan di Sunda, Jawa, Bali, Madura, Lombok, dan Sulawesi Selatan.
Di Madura saat ini, rakara dijadikan kerajinan tangan yang bernilai ekonomi, yakni tikar anyaman. Orang Madura menyebutnya dengan ‘teker rakara’.
“Beberapa tahun terakhir ini, saya bikin teker rakara tidak setiap tahun. Kalau dulu, bisa dipastikan setiap tahun, karena peminatnya juga banyak. Sekarang kalau musim tembakau sajayang lumayan banyak permintaan, ya ada, meski tidak sebanyak dulu,” kata Ibu Hasanah, pengrajin anyaman teker rakara saat ditemui Mamira.ID di rumahnya, Desa Prenduan, Kecamatan Pragaan.
Di tahun 70-an hingga 90-an, banyak warga Madura yang masih menggunakan teker rakara sebagai alas tempat makan di dapur, alas untuk menjamu tamu bahkan dijadikan alas salat di langgar (musala).
“Kalau zaman dulu, teker rakara tak hanya dipakai sebagai alas, tapi juga dijadikan sebagai pengganti kain kafan, dulu susah untuk mendapatkan kain kafan. Begitu cerita nenek saya,” kata Ibu Hasanah sambil menganyam rakara untuk dijadikan tikar kemasan tembakau.
Di musim kemarau, tepatnya saat musim tembakau menjadi berkah tersendiri bagi pengrajin tikar anyaman dari daun lontar ini. Karena di saat inilah kembali ada permintaan hasil kerajinannya.
“Kalau sekarang, permintaan teker rakara hanya setahun sekali, ya saat musim tembakau. Buat bungkus tembakau untuk dijual ke gudang. Soal harga teker tergantung harga tembakau itu sendiri, kalau harga tembakau mahal, biasanya harga tikar juga ikutan mahal. Lumrahnya sih antara Rp30.000-Rp.45.000. Kalau orang memesan untuk alas gak ada, karena orang-orang pada pakai hambal sekarang,” ujarnya.
Untuk membuat satu buah tikar dari daun lontar ini bukanlah hal yang mudah. Tentu daun lontar harus diambil dari atas pohon yang tingginya menjulang itu. Kemudian dijemur. Proses selanjutnya satu persatu lidi yang menempel pada daun dipisah (Madura: etongkes), kemudian daun tersebut dipotong dengan ukuran yang sama, orang Madura mengistilahkan proses tersebut dengan “elas atau eyelas”.
Setelah semua daun ‘eyelas’, kemudian helai demi helai daun tersebut dianyam (Madura: Eyanggi’) hingga menjadi tikar. Lidi-lidi dari daun lontar tadi tidak lantas dibuang, namun dijadikan batas pinggir dari tikar tersebut.
“Kalau yang tahan capek, semalam bisa menghasilkan satu buah tikar. Kalau saya, dua hari baru jadi, kadang tiga hari. Karena masih harus mengerjakan yang lain. Kalau almarhum ibu saya, semalam jadi. Tergantung ketelatenan juga,” ujarnya.
Sebenarnya, rakara tidak hanya dijadikan tikar saja, namun bisa dijadikan kerajinan-kerajinan dalam bentuk lain, seperti keranjang tempat jagung (Madura:Cobbu’), wadah gula merah, orong ketupat ‘topa’ rakara’, dan masih banyak yang lain.
Di Sumenep sendiri ada tiga daerah yang dikenal sebagai pusat tempat kerajinan teker rakara, yakni Desa Poreh, Kecamatan Lenteng, Desa Pragaan, Kecamatan Pragaan dan Desa Tamedung, KecamatanBatang-batang.
Bagaimanapun, semoga kerajinan dari daun pohon siwalan atau ta’al ini tetap eksis. Karena di dalamnya terdapat banyak sejarah bagi kehidupan orang Madura itu sendiri. Tentu selain juga agar kerajinan tradisional ini tetap lestari.
Jangan lupa tonton juga video Mamira.ID di youtube:
Mamira.ID