Mengintip Taring Karomah Kiai Macan, Demang Pertama Ambunten  

Mamira.ID – Ambunten merupakan sebuah kawasan pinggiran yang terletak di pesisir utara Kabupaten Sumenep. Dahulu, daerah ini menjadi tempat strategis, selaku jalur utama keraton Sumenep. Ambunten merupakan salah satu wilayah mardikan atau perdikan, karena tergolong daerah yang istimewa dan bebas pajak.

Seperti halnya beberapa daerah mardikan lainnya, yakni Batuampar dan Barambang. Status ‘mardikan’ tersebut, tak bisa lepas dari tokoh legendaris keraton Sumenep yang bernama Raden Demang Singoleksono, alias Kiai Macan, selaku Kepala atau Demang pertama di Ambunten. Jika sekarang, istilah ‘Demang’  setingkat  wali kota. Karena, pada saat itu, Sumenep masih menjadi sebuah negara. Kendati berada di bawah bayang-bayang kolonial dan Mataram.

Dalam catatan silsilah kuna yang masih disimpan oleh salah satu keturunan Kiai Macan, dijelaskan bahwa leluhur Kiai Macan adalah Raden Sutojoyo, seorang tokoh bangsawan sekaligus ulama kharismatik yang menjadi Kepala Angkatan Perang Penjaga Pintu Utara, berkedudukan di Sotabar (sekarang masuk Pasean, Pamekasan). Beliau merupakan cucu Panembahan Sampang, yang masih bersaudara dekat dengan Raden Bugan alias Tumenggung Yudanegoro, Raja Sumenep paruh kedua abad 17 .

“Kiai Macan merupakan keturunan langsung dari Raden Sutojoyo, seorang tokoh bangsawan sekaligus ulama yang memiliki karamah yang sangat tinggi. Nah, berkat karamahnya itu, Raja sangat segan kepada beliau. Sehingga, diangkatlah beliau oleh Raja, untuk menjadi Kepala Angkatan Perang Penjaga Pintu Utara. Sungguh! Jabatan yang sangat berat. Kalau bukan  orang yang memiliki kedikjayaan tinggi, tidaklah mungkin beliau dipercaya untuk mengemban amanah itu,” ujar Nurul Hidayat, salah satu keturunan Kiai Macan, sambil memperlihatkan catatan silsilah kuna tersebut kepada Mamira.ID

Baca Juga:  Kisah Munculnya Api Tak Kunjung Padam di Pamekasan

Sebagai Demang pertama di Ambunten, Kiai Macan dikenal sebagai ulama dan wali Allah besar.  Di samping itu, beliau juga memiliki garis kerabat dekat dengan keluarga keraton. Beliau merupakan tokoh yang mampu memadukan kekuasaan dan kewaliannya. Secara ruhani, ketokohan sang Kiai diselimuti karamah yang dapat menguak tabir rahasia kedudukannya dalam pandangan Ilahi.

Untuk hal-hal yang dirasa pelik, pihak keraton selalu meminta pandangan dan masukan dari Kiai Macan. Bahkan, dalam hal yang berkaitan dengan ekspedisi perang. Konon, beliau juga dikenal sebagai tokoh yang menguasai taktik dan strategi perang atau seni perang. Salah satu ekspedisi perang yang dikenal pernah melibatkan Kiai Macan adalah ekspedisi perang ke tanah Aceh.

Berdasarkan angka tahun wafat Kiai Macan, yakni tahun 1284 Hijriah, kemungkinan besar, beliau hidup di masa Sultan Abdurrahman Pakunataningrat. Pasalnya, ekspedisi itu bisa jadi juga bersamaan dengan keberangkatan Pangeran Le’nan Hamzah, salah satu putra Sultan Abdurrahman Pakunataningrat.

Baca Juga:  Jelajah Asta Pangeran Baragung, Makamnya Nyaris Sama dengan Asta Sang Ayah

Karamah Kiai Macan : Menghadirkan Pencuri Lewat Kentungan Kecil

Dahulu, di tanah Jawa, ada sebuah kerajaan bernama Kalingga. Penguasanya seorang Ratu bernama Ratu Sima. Ratu yang adil, bijaksana, dan berwibawa. Satu hal yang paling dikenal dari Kalingga, yaitu keamanan warganya. Tidak ada satu pun orang yang berani mengambil hak orang lain, baik sembunyi-sembunyi atau terang-terangan. Bahkan, dikisahkan, pernah ada sebuah pundi besar berisi emas dan permata diletakkan di jalanan oleh pemiliknya selama berhari-hari. Namun, tak satupun orang berani mengambilnya.

Kisah tersebut ternyata ada juga terjadi di Ambunten, yang saat itu berada di bawah kepemimpinan Kiai Macan. Di masa Kiai Macan menjabat sebagai Demang pertama di Ambunten, kawasan tersebut sangat aman, tenang, dan tenteram. Terlebih lagi, setelah Kiai Macan menunjukkan karamahnya di depan warganya saat itu, yakni menghadirkan para pencuri dan perampok, sekaligus dengan membawa barang curiannya.

Saat itu, warga Ambunten sangat resah dengan maraknya pencuri dan perampok yang beraksi di Ambunten. Hingga kabar tak sedap itu pun terdengar oleh Kiai Macan, selaku Pemimpin yang berkharisma agung tersebut. Beliau pun mengumpulkan warganya di halaman pendapa kademangan Ambunten, kala itu.

Sambil tersenyum, sosok bercahaya dan memancarkan kharisma agung itu mengambil sebuah potongan bambu dan dipukulnya pelan dengan sepotong kayu. Semacam kentungan kecil, atau tong-tong kata orang Sumenep. Bunyinya pelan, namun menggetarkan jiwa. Seakan membentuk melodi yang merdu. Melodi yang seolah-olah menyingkap tabir rahasia Ilahi.

Baca Juga:  Kiai Faqih: Ulama Sufi Guru Bindara Saot

Suasana saat itu tenang seketika. Hadirin pun diam, seakan terhanyut oleh bunyi yang rasanya menembus sanubari. Belum selesai keanehan dirasakan oleh warga saat itu, tiba-tiba muncul beberapa kawanan manusia, mulai dari yang biasa saja hingga beringas. Kawanan tersebut tak lain adalah para pencuri dan perampok yang saat itu meresahkan warga. Anehnya lagi, bercampur rasa takjub hadirin saat itu, kawanan pencuri dan perampok itu datang dari arah pintu gerbang kademangan beserta barang jarahannya. Mereka pun tertunduk lemah dan menyerahkan diri.

“Bunyi kentungan Kiai Macan membuat mereka (kawanan pencuri dan perampok) itu dengan tidak sadar menyerahkan diri, sekaligus beserta barang curiannya,” kata Nurul Hidayat.

Kini, bunyi kentungan sang Kiai sangat dirindukan, tak hanya warga Ambunten, bahkan oleh kawasan lain di Sumenep. Jejaknya yang gemilang  dalam mewujudkan peradaban besar, serta pemupukan islamisasi di Ambunten, terpatri kuat di sanubari masyarakat Ambunten. Salah satunya, menempatkan Ambunten sebagai wilayah mardikan (merdeka).

Jangan lupa juga tonton video Mamira.ID di youtube:

Mamira.ID