Mamira.ID – Siapa yang tidak mengenal Kiai Arsoji alias Abdul Qidam, selain merupakan leluhur para raja Sumenep dinasti terakhir (1750-1929), beliau juga leluhur para adipati di wilayah Tapal Kuda, seperti Besuki, Panarukan, Situbondo, dan pembesar-pembesar di Probolinggo, Pasuruan, serta lainnya.
Tidak hanya melahirkan umara, Kiai Abdul Qidam juga leluhur para ulama. Berdasarkan catatan, beberapa ulama di Tapal Kuda juga merupakan keturunan beliau, seperti Kiai As’ad Syamsul Arifin (Sukorejo), Kiai Abdul Aziz (Tempurejo), Kiai Zaini Mun’im (Paiton). Mereka merupakan ulama besar dan sangat berpengaruh pada masanya. Bahkan, bisa dikatakan pengaruhnya masih sangat kuat hingga saat ini.
Dalam literatur Sumenep, Kiai Abdul Qidam merupakan seorang bangsawan utama di kota ujung timur Pulau Garam. Kiai Abdul Qidam memiliki nama lain Raden Pandiyan. Beliau tercatat sebagai salah satu putra Raden Rajasa alias Pangeran Lor II, salah satu raja (Adipati) Sumenep.
Pangeran Lor II adalah putra Pangeran Wetan. Sementara Pangeran Wetan merupakan putra kedua Tumenggung Kanduruan. Susur-galur ini bermuara pada kasultanan Demak, Bintara; kerajaan Islam pertama di bumi Jawa. Karena Kanduruan merupakan salah satu putra Sultan Demak, Raden Fatah, yang ditugaskan mengisi kekosongan kursi pemerintahan di Sumenep, pasca wafatnya Pangeran Siding Puri tahun 1559 Masehi. Cerita tutur selanjutnya menyebutkan jika Kiai Abdul Qidam memisahkan diri dari kehidupan Keraton, dan berkelana dengan menyibukkan diri dalam aktivitas menuntut ilmu dan dakwah. Sementara yang mengganti Pangeran Wetan sebagai adipati Sumenep ialah saudaranya, Raden Abdullah alias Pangeran Cakranegara I.
Riwayat dan sekaligus catatan mengenai asal-usul beliau ini menjadi pegangan keluarga Keraton Sumenep hingga saat ini, khususnya dari kalangan keluarga dinasti terakhir. Catatan ini selanjutnya juga dipakai dalam penyusunan buku Sejarah Sumenep (2003).
Namun di dalam buku Babad Sumenep….