Benteng Kalimo’ok: Jejak Kejayaan VOC di Sumenep

Luas Benteng

Pintu gerbang benteng dengan ketinggian kurang-lebih lima hingga enam meter itu dilengkapi dengan simbol pusar angin di pintu sisi sebelah kiri. Terdapat pula di samping kanan dengan berrtuliskan tahun berdirinya Benteng Kalimo’ok.

Memasuki ke area dalam benteng, terdapat cekungan yang berada di setiap bangunan benteng tersebut, cekungan itu dibuat sebagai tempat senjata Meriam guna mengantisipasi penyerangan musuh. Tak terbayang penjagaan dan kewaspadaan benteng tersebut sangatlah ketat.

Fort Soemenep atau lebih dikenal dengan sebutan benteng Kalimo’ok merupakan benteng yang hampir sebagian besar konstruksinya terbuat dari susunan batu kapur. Maka tak heran jika benteng ini mempunyai ukuran yang tinggi dengan ketebalan tembok sekitar 1 meter.

Benteng Sumenep bisa dikategorikan sebagai benteng yang cukup kecil jika dibandingkan benteng-benteng lainnya di daerah Jawa. Luasnya yang tak kurang dari 2 hektare tersebut, dihuni oleh 25-30 serdadu Eropa. Minimnya jumlah serdadu yang ditugaskan di Benteng ini berdampak pula pada jumlah bangunan yang dibangun didalamnya.

Baca Juga:  Kiai Ali: Maha Guru dari Tanah Barangbang (Bagian II)

Benteng Sumenep hanya memilik 4 buah bangunan sebagaimana yang bisa kita lihat pada peta Sumenep tahun 1883 dan juga beberapa foto peninggalan Badan Arkeologi Kolonial tahun 1920 an. Keberadaan bangunan ini juga didukung dengan temuan struktur yang dilakukan oleh Balai Arkeologi Jogjakarta yang melakukan eskavasi dari tahun 2003-2006 silam.

Di dalam peta dan foto tersebut, nampak bangunan-bangunan didalam tembok benteng disusun saling berhadapan satu dengan yang lainnya hingga menyisakan sebuah ruang terbuka pada bagian tengahnya. Sejauh ini belum diketahui secara pasti fungsi dari keempat bangunan teresebut, ada kemungkinan bangunan yang telah lenyap tersebut merupakan bangunan barak militer dan kantor. Benteng ini hampir sebagian besar dibangun dengan menggunakan material bata putih dengan ketebalan yang cukup variatif, kira-kira 50 cm. Benteng Sumenep ini juga dilengkapi dengan bastion, yang mana semua bastion dilengkapi dengan meriam dengan masing masing dengan berat 8 pon.

Baca Juga:  Anggadipa, “Plt Raja” Sumenep Yang Tak Pulang

Benteng Sumenep, merupakan pos pertahanan yang sebenarnya tidak terlalu diperhitungkan keberadaannya oleh Pemerintah Kolonial. Sebagaimana sebuah laporan yang ditulis dalam laporan berjudul pos-pos pertahanan di Hindia Belanda yang diterbitkan pada tahun 1864.

Kesetiaan pemerintah lokal dengan pemerintah Kolonial dalam menjaga kondusifitas di berbagai wilayah tidak sepatutnya pemerintah Kolonial membangun benteng di Sumenep. Namun berbeda dengan wilayah lainnya yang selalu mengadakan penghianatan-penghianatan kepada pemerintah saat itu.

Meski demikian, dalam beberapa laporan, benteng ini tetap dijaga dan dirawat dengan baik. Tahun 1813, Pemerintahan Inggris, melalui R. C. Gamham, mendiang Komandan Pasukan di Sumenep diberikan sejumlah uang oleh Deputi Keuangan Bidang Militer, sejumlah enam ratus tiga belas Dolar Spanyol dan dua Stivers, untuk perbaikan bangunan Benteng. Pada tahun 1863 Benteng ini kembali diberikan dana perawatan sebesar 150 Gulden oleh Pemerintah Hindia-Belanda.

Penjara Anak Pangeran Diponegoro

Benteng Sumenep mempunyai perjalanan sejarah yang cukup panjang pada masanya, bukan hanya menjadi saksi pertempuran perebutan kekuasaan antara pemerintah Inggris dan Belanda, namun juga menjadi saksi dari keberingasan pemerintah kolonial dalam memberangus anak keturunan pahlawan nasional Pangeran Diponegoro. Mengutip isi dari sebuah laporan kolonial yang diterbitkan tahun 1853, Anak Pangeran Diponegoro ditangkap dan ditahan di Benteng Sumenep atas tuduhan keterlibatannya dalam sebuah konspirasi yang diinisiasi oleh Harya Rangga, seorang pangeran yang membenci Sultan Jawa dan orang-orang eropa.

Baca Juga:  Kisah Raibnya “Kuda Terbang” di Kubah Sang Patih

Dengan kondisi benteng sudah kuna ini, jadi teringat pada ungkapan penyair Inggris, William Morris (1834-1896), Bahwa: “Bangunan-bangunan tua ini bukan hanya milik kita; mereka milik para leluhur kita dan akan diwariskan pada anak cucu kita, kecuali hak itu kita rampas dari mereka. Tak sepatutnya kita berbuat sesuka hati atas bagunan-bangunan ini. Kita sekedar pemegang amanat bagi generasi yang akan datang.”

Jangan juga lupa lihat video ini:

Penulis: Fauzi

Editor: Mamira.ID