Mamira.ID – Madura merupakan daerah yang kaya akan budaya serta menyimpan sejuta keunikan di dalamnya. Mulai dari kota keris yang berada ujung timur pulau garam hingga ujung barat yakni kota santri, Bangkalan. Masing-masing daerah banyak memiliki keunikan tersendiri, baik dari tradisi hingga adat istiadat yang berbeda tapi tetap dalam wahana Madura yang guyub dan tenteram.
Ada banyak hal yang bisa disaksikan jika berkunjung ke Madura, mulai dari keelokan pantai hingga pesona lainnya, seperti keanekaragaman seni dan budaya yang masih tetap lestari. Meski gelombang arus perkembangan zaman sedikit demi sedikit mulai merongrong bumi persada ini. Bumi Madura yang indah dan permai selalu menarik minat para wisatawan domestik hingga mancanegara.
Mereka selalu antusias menyaksikan ragam budaya dan tradisi yang dimiliki pulau dengan empat kabupaten ini. Sebut saja seperti kerapan sapi (sapi jantan diadu kekuatan dan keperkasaan saat berlari) dan kontes sapi sono’ (sapi betina yang dihias dan diadu kecantikan dan keanggunannya; estetika sapi dalam berjalan dan kemudian menaiki kayu pijakan), keduanya sudah menjadi kegiatan wajib orang-orang pulau Madura sejak zaman dahulu hingga kini. Maka tidak heran jika kemudian juga tercipta lagu-lagu daerah seperti Kerapan Sapi (Kerraban Sape) dan Sape Sono’ sebagai simbol dari orang-orang Madura.
Berbicara tentang kerapan sapi dan kontes sapi sono’ tentu tak bisa lepas dari musik tradisional Madura yang mengiringi di saat kontes berlangsung yakni saronen. Saronen merupakan musik tradisional khas Madura yang sudah melegenda sejak zaman awal perkembangan Islam kala itu dan tetap bertahan hingga zaman modern ini. Saronen masih eksis dan terpelihara kelestariannya.
Musik ini memiliki ciri khas serta keunikan tersendiri di pulau garam ini, keindahan irama musik saronen menjadi penyempurna dalam acara pertunjukan budaya Madura seperti kerapan sapi dan kontes sapi sono’.
Sejarah Musik Saronen
Berdasarkan sejarahnya, awal mula kesenian saronen ini diciptakan dan dipakai sebagai media dakwah oleh seorang wali. Hal ini dilakukan agar banyak masyarakat yang tertarik untuk memeluk agama Islam. Dulu, kegiatan ini dilakukan oleh putra sang wali Nandur dari tanah Jawa, yakni Pangeran Katandur bin Sunan Kudus. Putra Pangeran tersebut bernama Kiai Khatib Sendang.
Jejak dakwah sang wali ini memang menggunakan sarana seni dan budaya sebagai media guna mempermudah dalam menyebarkan ajaran agama Islam. Sebab, dengan media seni dan budaya akan mudah diterima oleh masyarakat karena bersifat unik, humoris dan menggugah para hati masyarakat yang cinta akan budaya dan kearifan lokal.
“Musik saronen dulu yang memperkenalkan adalah Kiai Khatib Sendang, beliau menjadikan saronen sebagai media dakwah.” ujar R.B. Jakfar Shadik salah satu pemerhati sejarah dan budaya.
Menurut pemerhati sejarah dan budaya Sumenep yang lahir di tanah Pragaan tersebut, dikisahkan bahwa Kiai Khatib Sendang melakukan pertunjukan musik saronen pada setiap hari Senin, dimana pada hari tersebut merupakan hari orang mengunjungi pasar, orang Madura menyebutnya “Are Pasaran”. Kiai Khatib Sendang dan para pengikutnya menghibur pengunjung pasar menggunakan musik saronen sebagai media dakwahnya. Hari Senin dipilih oleh beliau karena di pasar merupakan tempat berkumpulnya banyak orang.
“Gaya penampilan sang wali itu sangat humoris dan di antara pengikutnya itu ada yang berpakaian badut, orang Madura menyebut badut tersebut dengan Ta’ Buta’an dan ada juga Macan-macanan atau Can Macanan,” terang R.B Jakfar.
Setelah banyak pengunjung pasar yang berkumpul, Kiai Khatib Sendang memulai pertunjukan seni musik saronen sembari berdakwah, memberi pemaparan tentang ajaran agama Islam dan nilai-nilai moral di balik filosofi musik saronen itu serta menyampaikan ilmu tata kemasyarakatan. Dari sinilah, kemudian muncul kata saronen. Jadi, nama saronen berawal dari pertunjukan seni musik setiap hari Senin.
Gaya dakwah yang unik dan humoris ini mampu membuat penonton terkesima dan menggetarkan hati mereka, sehingga banyak masyarakat yang hadir tertarik untuk menonton, bahkan ada juga yang langsung meyakinkan dirinya untuk bersyahadat, memeluk ajaran agama Islam.
Jadi, musik saronen ini memang sudah ada sejak awal Islam memasuki bumi Madura. Dan bisa dikatakan bahwa saronen merupakan alat musik tradisional yang punya andil dalam penyebaran ajaran agama Islam dan nilai-nilai moral serta tata kemasyarakatan.
Saronen juga dikenal pada abad 19-20, melalui salah satu tokoh ulama nyentrik bernama Kiai Khalil Sendang.
“Kiai Khalil Sendang ini yang kadang orang menyangka satu sosok yang sama dengan Kiai Khatib Sendang. Padahal jarak keduanya terpaut masa ratusan tahun lamanya. Kiai Khatib jauh lebih dulu dibanding Kiai Khalil,” jelas Ja’far.
Konon, Kiai Khalil dikenal ahli memainkan saronen. Beliau juga diceritakan memiliki karomah berupa bisa menangkap suara gamelan dan dimasukkan dalam sebuah wadah.
“Hingga saat ini alat musik saronen Kiai Khalil masih ada dan setiap satu tahun sekali dikeluarkan. Edudus, kata maduranya. Nama alat musiknya, Se Kangen,” terang Ja’far
