Mamira.ID – Panorama yang sejuk penanda sebuah kesuburan dan kemakmuran di negeri Sumenep, kala itu. Kondisi tanah yang tandus sebelumnya, kini telah berubah menjadi ladang pertanian yang tumbuh hijau, dan sebagian lagi tampak menguning. Pertanda, waktu panen telah tiba. Hal ini membuktikan adanya angin perubahan kesejahteraan masyarakat, serta pemerintahan, atau penguasa keadipatian yang bijaksana, dan merakyat.
Sumenep yang kala itu masih menggunakan sistem kerajaan, tentu sisi pertanian menjadi tonggak sekaligus tolak ukur kemakmuran negeri Songennep. Masyarakatnya yang mayoritas bertani, dan sebagian menjadi nelayan. Maka tak heran, pada abad ke-15, salah satu penyebar agama Islam di Sumenep memilih pertanian sebagai media dakwahnya, sebut saja Sayyid Ahmad Baidlawi. Beliau melanjutkan misi dakwah leluhurnya di ujung timur pulau garam, guna membumikan ajaran akidah keislaman.
Pertanian dipilih oleh beliau, tentu saja bukan tanpa alasan. Sebab, dakwah melalui pertanian pasti mudah diterima oleh masyarakat. Hal inilah yang membuat Sayyid Ahmad Baidlawi kemudian dikenal dengan sebutan Pangeran Katandur. Sebuah sematan laqab bagi cucu Kangjeng Sunan Kudus.
Meski bukan warga pribumi Madura Timur, sang Pangeran mampu membaca dengan cara apa, dan bagaimana menyebarkan syiar-syiar Islam itu disampaikan. Tentu dengan melihat kondisi geografis, dan profesi mayoritas masyarakat Sumenep. Maka kemudian, Pangeran Katandur mengajarkan tata cara bercocok tanam dengan menggunakan media Nanggala.
Nanggala merupakan cara bercocok tanam dengan menggunakan sepasang sapi, guna membajak sawah atau ladang. Proses cocok tanam biasanya pada musim hujan, atau orang Madura mengistilahkan musim ‘nembara’’. Nanggala inilah yang menjadi media dakwah sang Pangeran tempo dulu. Hal ini membuktikan bahwa Islam adalah agama yang luwes, ajaran-ajarannya bisa disampaikan dengan berbagai macam cara dan media.
” Sejak dulu para leluhur membajak sawah dan ladang dengan cara ‘e nanggala’, ini sudah turun-temurun dilakukan oleh masyarakat Sumenep, khususnya di Desa Tamedung,” ujar Pak Absaruddin, salah satu petani yang masih menggunakan nanggala saat membajak sawah kepada tim Mamira.ID.
Namun, seiring dengan perkembangan teknologi pertanian yang sudah modern, saat ini jarang sekali para petani membajak sawahnya menggunakan sapi.
“Kalau dulu jadi pembajak sawah itu sangat menjanjikan. Apalagi pada saat musim bercocok tanam. Bahkan, kadang yang nyuruh bajak sawah sampai dari kampung sebelah. Kalau sekarang, ada yang nyuruh aja untung,” ujarnya, dengan nada serius.
Lumrahnya, sapi yang digunakan membajak sawah (Madura: ananggala) adalah sapi betina, namun ada juga yang menggunakan sapi jantan. Sepasang sapi yang digunakan untuk membajak tentu bukan hanya terdiri dari sapi saja, namun ada alat bantu yang terdiri dari Pangonong, dan Nanggala itu sendiri. Alat-alat tersebut akan memudahkan kekompakan sapi saat dipakai untuk membajak.
Pangonong dan nanggala biasanya terbuat dari bahan kayu jati atau kayu camplong (Madura: nyamplong) dengan ragam dan motif yang berbeda. Untuk lebih jelasnya, Mamira.ID akan mengulas detail apa yang disebut pangonong dan nanggala. Baca halaman selanjutnya →