Mengenal Tradisi Orang Madura di Bulan Safar dan Filosofi Tajin Sappar

Mamira.ID Tradisi masyarakat Madura setiap bulan Safar yang tetap lestari hingga saat ini adalah membagi-bagikan menu tajin sappar. Tradisi ini nyaris sama dengan ter-ater tajin sora pada bulan Muharam. Perbedaan keduanya hanya terletak pada menu dan makna atau filosofi dari masing-masing tajin tersebut.

Entah siapa yang mencetuskan atau menggagas tradisi ini, namun yang jelas tradisi ini bukan hanya sekedar berbagi makanan berupa menu tajin sappar saja. Ada makna atau folosofi yang mendalam di sana, khususnya pada warna tajin. Selain sebagai bentuk syukur dengan bersedekah makanan kepada para sanak famili dan tetangga terdekat, ter-ater juga dapat mempererat tali silaturrahmi antar sesama.

“Saya kurang tahu soal siapa yang menggagas tradisi ini pertama kali. Namun, yang jelas, tradisi ini merupakan tradisi leluhur yang hingga kini tetap dilakukan oleh orang Madura setiap tahunnya, yakni setiap bulan Safar,” ujar Kiai Khonaini, salah satu sesepuh Desa Kotabang Lao’, Kecamatan Guluk-guluk, Sumenep

Baca Juga:  Agung Sayyid Tembing, Penyambung Silsilah yang Terputus (1)

Tajin sappar merupakan tajin atau bubur yang terbuat dari tepung beras, ada pula yang terbuat beras ketan, gula merah dan santan. Umumnya, tajin atau jenang dimaksud berwarna merah dengan bertabur bubur padat sebesar kelereng yang biasa disebut candil, dan bubur warna putih dengan rasa sedikit asin di atasnya, serta disirami kuah santan. Meski pada perkembangannya, masyarakat Madura juga ada yang membuat tajin sappar yang berwarna coklat. Namun, bahan dan cara membuatnya tetaplah sama.

Tajin sappar biasanya disajikan di atas piring yang sudah dilapisi daun pisang muda guna menambah aroma tersendiri pada tajin. Meski pada saat ini sebagian juga ada yang menggunakan kertas bungkus nasi berwarna coklat, tajin tersebut kemudian diantar ke tetangga terdekat, sehingga yang tidak membuat tajin, entah karena sibuk atau kurang mampu, bisa mendapatkan kiriman dari tetangga maupun keluarga.

Baca Juga:  Nyai Nurima: Ibunda Sang Nata, Leluhur Penguasa Keraton Sumenep Dinasti Terakhir
Ket.Foto: Tajin Sappar berwarna coklat. (Mamira.ID)

Warna merah atau coklat pada tajin sappar mempunyai filosofi sangat tinggi. Warna merah atau coklat pada bubur melambangkan warna darah seorang ibu. Sedangkan bubur padat seperti kelereng adalah melambangkan bibit atau embrio, dan warna putih di tengah melambangkan air mani (sperma) dari ayah. Makna tersirat pada warna tajin sappar mengingatkan kepada seseorang terhadap asal-muasal manusia, agar tidak sombong dan selalu mengasihi sesama, termasuk makhluk ciptaan Allah.

“Selain mempunyai cita rasa yang istimewa dan khas, warna pada tajin sappar juga dikaitkan dengan peristiwa dibantainya cucu Rasulullah SAW oleh Yazid bin Muawiyah. Warna merah melambangkan darah yang mengalir, dan warna putih melambangkan tulang yang hancur lebur. Jadi, intinya, ada banyak makna dari tradisi warisan leluhur ini,” tuturnya.

Baca Juga:  Melihat Jejak Kiai Agung Rahwan dan Ribuan Bambu Merunduk di Tanah Sendir  

Namun, terlepas dari folosofi di atas dan dikaitkannya dengan peristiwa tertentu, tradisi ter-ater tajin sappar pada bulan Safar ini perlu tetap dijaga kelestariannya.

“Sayang sekali jika kemudian tradisi baik ini hilang tertelan zaman, karena tradisi ini mengandung nilai-nilai kearifan yang tinggi di dalamnya, selain sebagai salah satu bentuk rasa syukur kepada Allah SWT, dalam kehidupan sosial kita harus saling berbagi, bertegur sapa, saling asih dan asuh,” pungkasnya.

Jangan lupa tonton juga video Mamira.ID di youtube:

Mamira.ID