Kisah Kewalian Kiai Agung Jareja dan Jangkrik Peliharaannya

Mamira.ID – Kiai Agung Jareja merupakan kiai yang bermukim di kawasan Kampung Raden, Desa Tamedung, Kecamatan Batang-batang. Beliau merupakan kakak kandung dari Kiai Agung Nepa, seorang wali Allah yang mempunyai banyak karomah. Selain sebagai wali Allah, dalam raga keduanya juga mengalir darah Kangjeng Tumenggung Tirtanegara Bindara Saot dengan Nyai Izzah, sosok muslimah idaman yang masyhur di tanah Lembung  Barat, Kecamatan Lenteng, Sumenep.

Kia Agung Jareja memiliki nama daging Kiai Agung Saiman. Beliau adalah putra dari Kiai Bahauddin dengan nama keratonnya Raden Aria Kusumanegara alias Raden Aria Pacinan. Beliau dibesarkan di perkampungan yang cukup asri dan subur, yakni Kampung Togu atau orang menyebutnya dengan Kampung Raden, sebuah perkampungan yang jaraknya kurang lebih 7 kilometer dari arah Kecamatan Batang-batang.

“Kampung Togu ini merupakan kampung yang memiliki peradaban lebih awal dibanding dengan yang lainnya. Banyak tokoh-tokoh agung yang mendiami kawasan ini, seperti Kiai Being Seing, tokoh awal China muslim di Sumenep, dan juga para wali Allah seperti Nyai Surriyah yang berjuluk Ju’ Pancor, Kiai Sabe Macan yang terkenal ikut berperang di masa keraton Sumenep. Selain itu juga, dalam bidang dakwah penyebaran agama Islam ada Kiai Agung Jareja, Kiai Agung Nepa, dan anak cucunya,” ungkap Bapak Fara’id Al Hasyimi, salah satu pemerhati sejarah Tamedung sekaligus keturunan dari Kiai Agung Jareja.

Baca Juga:  Ini Nama dan Makam Guru Spiritual Pangeran Diponegoro di Sumenep

Kiai Agung Jareja Berguru ke Barangbang

“Utlubul ‘ilma minal mahdi ilal lahdi” yang artinya “tuntutlah ilmu mulai sejak di ayunan hingga ke liang lahat”. Kiai Agung Saiman alias Kiai Agung Jareja menuntut ilmu, atau orang Madura bilangnya ‘ngaji’ ke Kampung Barangbang, Desa Kalimo’ok, Kecamatan Kalianget. Tepatnya di Langgar Kuna Kiai Ali Barangbang, sosok wali agung yang masyhur dengan karomahnya, bisa mengajari seekor monyet atau kera mengaji Al-Qur’an. Entah beliau berguru langsung kepada Kiai Ali atau kepada keturunannya, sebab ini tidak ada tahun atau waktu yang menjelaskan tentang kapan tepatnya beliau berguru ke Barangbang.

“Kalau menurut cerita para sesepuh, bilamana Kiai Jareja pulang ke Kampung Raden dari Barangbang, beliau mengendarai (Madura: Nompa’) ikan besar (Madura: Juko’ mondung pote) saat melintasi Pelabuhan Kalettek, Gersek Pote, Sumenep. Termasuk adeknya yang bernama Kiai Agung Nepa juga mengendarai ikan yang sama saat mengikuti perang di luar Sumenep atau melintasi Laut Jawa. Makanya, menjadi pantangan atau larangan bagi anak cucu keturunan Kiai Agung Jareja dan Kiai Agung Nepa memakan atau mengonsumsi ikan tersebut, ” terangnya.

Karomah Kiai Agung Jareja

Jika Kiai Ali Barangbang memiliki karomah bisa mengajari kera untuk bisa mengaji layaknya manusia, Kiai Agung Jareja juga memiliki karomah yang tidak kalah hebat dan luar biasa. Kiai Agung Jareja memiliki sebuah karomah yakni memelihara seekor jangkrik (Madura baca: Jangkrek atau jangrek) yang bisa beraktivitas layaknya manusia, bisa mengaji dan membantu sang kiai, seperti memasak, mengambil air (Madura: Nyello’ aeng), memetik kelapa, dan lain- lain.

Baca Juga:  Misteri Raja Madura Sebelum Wiraraja, Siapa Pendahulu Sang Aria Adikara?

Dikisahkan dulu, ketika ada sebuah pertemuan agung di langgar kuna Kampung Togu, Kiai Jareja sempat berdebat dalam rangka menjamu para tamu dan sempat adu karomah (Madura: Kajunilan) dengan adik kandung sendiri, yakni Kiai Agung Nepa. Perdebatan tersebut berlangsung alot dan seru di hadapan para tamu undangan. Keduanya berdebat tentang persoalan agama dan kemaslahatan umat.

Rindangnya pohon kelapa tepat di kediaman beliau menambah kesejukan tersendiri bagi para penghuninya atau penduduk kampung yang berjuluk Kampung Raden tersebut. Tepat di sekitar langgar kuna itu berjejer pohon kelapa yang menjadi simbol kemakmuran dan keasrian kampung ini. Maka tak heran, jika penduduknya menyajikan kelapa muda (Madura: Duggan) kepada para tamu sebagai sajian setelah makan.

Ket.Foto: Wadah atau tempat makan jangkrik milik Kiai Agung Jareja yang berusia ratusan tahun. (Mamira.ID)

Kiai Agung Jareja mulai memerintah si jangkrik peliharaannya guna memetik buah kelapa. Hewan tersebut pun melaksanakan perintah sang Kiai. Si jangkrik mulai memanjat pohon kelapa dan buahnya pun mulai dipetik satu persatu.

Para tamu heran bercampur takjub atas kejadian tersebut. Selain itu, mereka juga merasa kebingungan. Sebab, buah kelapa yang dipetik si jangkrik, bermacam-macam. Ada yang tua, dan ada yang muda. Lalu, si bungsu alias Kiai Agung Nepa berkata, “Kalau seperti ini, bingung Kang Mas, dan mubazir,” ujarnya kepada Kiai Agung Jareja.

Baca Juga:  Tiga Masjid Kuna Warisan Para Raja Sumenep

“Lalu bagaimana caranya, Dik Mas?” tanya Kiai Agung Jareja pada sang adik. Dengan santai, Kiai Agung Nepa menunjuk sebuah pohon kelapa. “Dengan ini, Kang Mas,” jawabnya sambil tersenyum. Dengan izin Allah, pohon kelapa itu merunduk ke arah para tamu, sehingga dengan bebas sesuka hati  para tamu tersebut memetik pohon kelapa itu. mereka hendak  mengambil yang muda, atau yang sudah tua, bahkan mau mengambil janurnya pun bisa.

“Begitulah cerita adu kewalian (kajunilan) kedua wali Allah tersebut. Sampai saat ini, tempat makan jangkrik peliharaan Kiai Jareja masih ada dan disimpan di langgar kuna milik Kiai Agung Nepa, serta masih disakralkan hingga saat ini dengan usia yang sudah ratusan tahun, melihat tempat makan jangkriknya saja sebesar itu, jadi tidak kebayang sebesar apa itu jangkrik,” terang Bapak Fara’id Al Hasyimi sambil menunjukkan sebuah kayu tempat makan si jangkrik itu.

Siapa saja keturunan Kiai Agung Jareja? Dimana pasarean beliau? Baca selengkapnya disini⇒