Mamira.id – “Lain ladang, lain belalang. Lain lubuk lain ikannya”. Indoneisa memang negeri yang gemah ripah loh jinawi. Negeri ini tak hanya kaya akan sumber daya alamnya, namun juga adat istiadat, bahasa, budaya dan bahkan seni. Kekayaan seni yang dimiliki Indonesia salah satunya terdapat di sebuah desa bernama Karduluk. Desa kecil ini terletak di Kecamatan Pragaan, tepatnya di pesisir selatan Kabupaten Sumenep.
Saat ini, Karduluk menjadi satu-satunya tempat sentra ukir di Madura. Umumnya, Sebagian besar masyarakat yang bermukim di sekitar pesisir bekerja sebagai nelayan. Namun berbeda dengan warga desa yang satu ini, meski hidup dekat dengan lautan, namun tak semua masyarakatnya memilih menjadi nelayan. Bahkan, Sebagian besar warganya menjadi pengrajin seni pahat kayu atau pengukir.
Sama halnya dengan seni yang tak kalah terkenal lainnya milik Madura, yakni seni membatik. Kerajinan tangan yang satu ini juga memberikan nilai estetika dan nuansa artistik. Tak semua orang bisa melakukan pekerjaan ini, karena dalam seni ukir juga dibutuhkan ketelatenan dan penjiwaan yang dalam.
Beberapa pekan lalu, tim Mamira berkunjung ke Desa Karduluk dan menemui salah satu pemilik sentra ukir, Imam Ghazali (38). Ia merupakan generasi ketiga yang terus melestarikan dan mengembangkan kerajinan seni pahat warisan nenek moyangnya. Pemilik gerai ini memiliki lima belas karyawan, yang terdiri dari para pengukir, perakit dan pengecat.
“Saya punya lima belas karyawan, karena memang pengerjaan ukiran ini sudah ada orang-orangnya tertentu. Jadi yang ngukir beda, yang merakit dan menghaluskan beda, nanti saat proses pengecetanpun juga berbeda”, kata Imam sambil lalu mengajak tim mamira melihat lokasi ukir miliknya.
Imam memilih halaman belakang dan samping rumahnya sebagai tempat para pekerjanya mengukir. Di belakang rumahnya terdapat banyak tumpukan potongan kayu dari berbagai macam jenis. Kayu-kayu tersebut tampak ada yang berserakan, menumpuk hingga dijejer rapi. Disana juga terpajang beberapa ukiran yang sudah dihaluskan. Sementara di sisi samping rumahnya dijadikan tempat untuk pengecetan.
Ukiran-ukiran yang sudah di cat dan dirakit kemudian di letakkan di teras rumahnya yang sudah dijadikan gerai ukiran. Di gerai tersebut banyak dipajang ukiran hasil maha karya para karyawannya, berupa lemari, ranjang, bufet hingga kursi santai. Sementara gerai lantai dua dijadikan tempat khusus ukiran untuk pameran dan souvenir.
“Kalau dilantai dua saya jadikan tempat khusus souvenir, ukiran kaligrafi dan ukiran-ukiran untuk diikutkan di pameran”, ujar imam dan langsung mengajak tim mamira menaiki tangga untuk melihat macam-macam ukiran di lantai atas tersebut.
Sejarah Karduluk Jadi Sentra Ukir
Sejak puluhan tahun silam, nenek-nenek moyang warga desa Karduluk ini menekuni seni ukir. Menurut Imam Ghazali, sejarah kerajinan ukir Karduluk sudah terkenal sajak masa kerajaan Sumenep. Bahkan, seni arsitektur kerajinan ukir Karduluk ditemui dilingkungan keraton, seperti tempat tidur raja-raja Sumenep dan perlengkapan keraton lainnya seperti kursi dan meja.
“Sudah sejak dulu, turun temurun. Sejak nenek moyang kit aitu sudah jadi pengukir. Hingga saat ini terus dilestarikan dan kita kembangkan. Makanya, Karduluk ini menjadi pusat atau sentra ukir Madura. Kini, kurang lebih 600 warga yang aktif memainkan pahat melukis kayu,” kata Imam.
Bahkan, para pengukir jaman dulu, para pendahulu Imam, para pengukir Karduluk punya kehebatan tersendiri dibanding para pengrajin ukir kayu daerah lain. Pengrajin Karduluk bisa mengukir kayu tanpa menjiplak gambar atau sketsa. Ukiran Karduluk murni imajinatif dari jiwa seni pengrajin.
“Kalau sekarang lihat gambar dulu, atau bikin sketsa dulu sebelum mengukir kayu, ya agar mempermudah saja. Karena pesanan sudah lumayan banyak. Lebih cepat dan lebih mudah untuk dikerjakan.” Tuturnya.