Mengikat dan Mengemas Jubhada
Setelah tim mamira melihat proses awal hingga penjemuran pembuatan jubadha, ibu Jazilah kembali mengajak duduk di kursi teras rumahnya, kali ini tim mamira akan diperlihatkan bagaimana proses mengikat jubhada.
Semilir angin menyusup teras rumah sederhana itu, sementara tim mamira duduk di kursi siap untuk melihat ibu Jazilah dan anaknya mempraktekkan dari cara memotong, menggulung dan mengikat Jubhada. Ibu Jazilah sendiri sibuk keluar masuk mengambil peralatan berupa telenan, pisau dan tali jubadha yang terbuat dari daun pohon siwalan serta Jubadha kering berbentuk lembaran-lembaran yang tebalnya tak sampai setengah senti meter tersebut. Sementara lebar dan panjangnya sekira dua jengkal tangan orang dewasa .
“Ini Jubhada yang sudah kering, ini dipotong jadi beberapa lembar sebelum digulung. Setelah digulung kemudian dipotong kecil-kecil se ujung jari telunjuk.” Ucapnya saat mempraktekkan menggulung jubhada, wajahnya sesekali melihat tim mamira yang sedang khusuk menyimak, sementara tangannya terus menggulung lembar demi lembar jubadha dan kemudian memotongnya kecil-kecil.
Butuh kesabaran dan ketelatenan mengikat jubadha yang sudah digulun dan dipotong kecil-kecil tersebut. Satu ikatnya berisi empat potongan kecil. Alat pengikatnya menggunakan daun siwalan muda (Madura: Rakara) yang sudah diiris tipis-tipis. “Kalau yang tidak telaten bisa berantakan pas ngikatnya,” timpal suami Ibu jazilah yang saat itu juga duduk di teras.
Potongan kecil dan diikat dengan daun siwalan adalah ciri khas dari jubadha itu sendiri. Suami ibu Jazilah kemudian lanjut bercerita, jika tampilan jubadha saat ini berbeda dengan tampilan jubadha jaman dulu.
“Kalau dulu dipotong sebesar ujung jari jempol. Proses menggulungnya pun dikerjakan di pinggir jalan. Saat moda transortasi masih dokar dan jikar. Terus ada yang bilang proses gulungnya diatas paha, padahal itu ada telenan, Cuma telenannya di taruh di atas paha,” katanya, membuat semua yang ada tertawa memecah suasana.
Alasan sederhana jubadha di potong kecil-kecil seperti saat ini hanyalah untuk mempercantik tampilan saja, meski menjadi lebih sulit saat mengikat. Untuk mengikat jubhada, ibu Jazilah mempekerjakan tetangganya, pun demikian yang menggulung dan memotong yang semuanya berjumlah lima orang. Setelah dipotong dan diikat, jubadha kemudian dikemas dengan mika kecil transparan.
Pemasaran dan Harga
Meski tak tamat sekolah menengah apalagi merasakan bangku kuliah, soal ilmu pemasaran jangan ditanya. Ibu Jazilah sudah hafal betul bagaimana cara memasarkan jajanan tradisonal yang bertekstur sedikit kenyal saat dikunyah ini.
“Silahkan dicobain mas, ga apa-apa ambil saja. Sambil ngobrol sambil makan Jubadhanya” katanya, sambil menyodorkan nampan yang berisi setumpuk jubhada.
Sejurus kemudian, Ibu Jazilah menjelaskan kemana saja jubadha hasil produksinya di jual atau dipasarkan.” Selain dijual di warung sekitar sini, jubadha saya dikirim ke pasar Kapedi, disana ada pusat jajanan dan oleh-oleh. Selain itu, juga dikirim ke tempat-tempat wisata yang ada di Sumenep maupun di daerah Pamekasan”. Terangnya.
Satu ikat kecil berisi 3 sampai 4 potong jubhada, bahkan bisa berisi 7 potongan kecil sesuai pesanan. Satu ikat kecil hanya dibandrol dengan harga Rp125. Sementara satu mika kecil berisi 20 ikat kecil jubadha Rp2500. “itu harga dari saya, ya kalau orang yang jualnya di tempat wisata biasanya empat ribu hingga lima ribu rupiah,” jelasnya.
Matahari rupanya sudah tergelincir, awan mendung sedikit menyelimuti langit. Sepertinya tim mamira sudah saatnya kembali beranjak memburu makanan atau jajanan khas dan unik lainnya. Setelah pamitan, tim mamira kemudian bergegas meninggalkan rumah ibu Jazilah. “kalangkong mas sadhajeh, pon alenggi ekakdintoh, (terima kasih mas, semuanya. Sudah mampir disini), ucap ibu Jazilah sambil melepas senyum.
Tonton Video ini:
Penulis: Fauzi
Editor: Mamira.ID