Asta Tinggi Bagian I: Cungkup Pangeran Panji Pulang Jiwa

Melihat arsitektur cungkup Panji Pulang Jiwa , bentuk bangunan menyerupai joglo. Rumah tradisional ini merupakan krakteristik bagi istana yang dihuni oleh para ningrat. Hanya saja, atap cungkup ini memiliki atap tengah yang tak begitu curam. Secara struktural, atap cungkup ini merupakan atap yang paling sederhana jika dibandingkan dengan dua atap cungkup lainnya. Atap cungkup satu ini mirip puncak rumah Kampung. Namun, bedanya cungkup ini menggunakan enam tiang sebagai penyangga atap tengah. Struktur bubungan atap lebih besar, lebar dan rendah atau ujung atap bawah lebih landai, sehingga para peziarah harus membungkukkan badannya jika ingin masuk ke dalam area cungkup.

Arsitektur cungkup yang berada didalam astah Panji Pulangjiwo, merupakan cerminan arsitektur lokal. Seperti keramik yang berwarna kuning ke emas emasan. Atap cungkup landai mempunya makna tersendiri.

“Atap rendah begini agar kita membungkukkan badan. Membungkukkan badan ini merupakan simbol bahwa sopan santun dan etika harus didahulukan saat menghadap raja atau orang alim atau asta seorang wali.” Jelas Rahwini, sambil terus mengajak tim Mamira melihat gebyok dengan ornamentasi mengagumkan.

Dan benar saja, gebyok dibelakang makam memiliki ornamen pahatan begitu menarik dan mengagumkan. Panel-panel gebyok banyak menggambarkan tentang sebuah harapan yang mulia, cita-cita luhur setiap insan. Hampir pada setiap panel memilki unsur hiasan berupa kepala kala atau yang lazim disebut dengan Kalamakara. Hal ini menunjukkan tentang keberadaan areal sakral yang dijaga oleh raksasa. Bentuk ornamen ini juga memilki makna untuk menolak bala. Keyakinan demikian memang muncul sejak zaman pra Islam. Namu, diawal perkenalan masyarakat Nusantara dengan Islam, tradisi-tradisi lama ini masih digunakan.

Baca Juga:  Legenda Mata Air Patellessan, Peninggalan Pottre Koneng Yang Bisa Bikin Awet Muda

Kepala Kelamakara mempunyai fariasi, ada yang terpahat dengan jelas namun ada pula yang terpahat dengan Stilirisasi. Proses ini merupakan salah satu bentuk perkembangan seni pada masa awal Islam masuk ke Nusantara dengan tujuan untuk menyamarkan objek-objek tertentu yang tidak diperkenankan untuk digambarkan atau dilukiskan pada masa Islam.

Pada beberapa panel juga terdapat pahatan Swastika yang merupakan sebuah pandangan masa depan yang luhur dan lahir pada peradaban masyarakat India. Jika tidak cermat dalam belajar sejarah, Swastika sering dimaknai sebagai logo nazi Jerman. Namun jika ditinjau dari angka tahunnya, pada waktu itu nazi tersebut belum juga lahir.

Swastika merupakan simbol religius yang memilliki makna keberuntungan, kemujuran dan tentu saja ini sebenarnya adalah sebuah pengharapan bagi kita semua. Pada bagian lain, panel panel ornamen menggambarkan pahatan pahatan yang memberikan kisah tentang gambaran binatang, baik itu binatang mitologi ataupun binatang yang banyak kita temukan pada kehidupan nyata. Kisah tentang binatang ini merupakan bagian dari cerita Tantri, dimana kisah tentang binatang-binatang ini sebenarnya ingin mengajarkan nilai-nilai moral tertentu. Pahatan-pahatan yang berada didalam cungkup ini,  merupakan media dalam mewariskan pembangunan karakter pada manusia.

Baca Juga:  Agung Sayyid Tembing, Penyambung Silsilah yang Terputus (1)

Lantunan ayat-ayat suci Al-quran terdengar riuh rendah, sambil duduk manis dengan hembusan angin yang sejuk dan tenang, menyeruak wangi-wangi kembang tujuh rupa yang dibawa para peziarah menyapa indra penciuman. Asta tokoh-tokoh utama yang dimakamkan di cungkup memiliki gaya yang berbentuk jirat bertingkat yang cukup tinggi. Semakin tinggi tingkatannya, semakin tinggi pula status sosial dari ketokohannya. Bahkan di setiap batu nisan terdapat pahatan yang berbentuk ukiran-ukiran, ada yang berbentuk kaligrafi Arab dan ukiran yang berbentuk bunga.

Saking terus membludaknya para peziarah yang datang, saat ini cungkup satu semakin diperluas dengan ditambahkan teras depan dan pagar besi namun tanpa merubah struktur atau bentuk bangunan yang ada. Didalam cungkup satu terdapat 6 asta yang sampai saat ini masih terawat dengan baik.

Baca Juga:  Ingin Tahu Alasan Ke’ Lesap Berambisi Taklukkan Madura? Klik di Sini

Secara berurutan, enam asta tersebut merupakan asta dari RA. Mas Ireng ( Istri Pangeran Anggadipa), Pangeran Anggadipa (Pendiri Masjid Laju yang terletak di Kepanjen Sumenep 1639 M), Pangeran Wirosari ( Pangeran Seppo ),  Pangerean Rama (Orang tuan Pangeran Jimat), R.A Artak ( Istri Pangeran Panji Pulang Jiwo) dan terakhir merupakan asta Pangeran Panji Pulang Jiwa ( R. Kaskiyan).

“Asta tertua di cungkup ini bukan asta Pangeran Pulang Jiwa, tapi sebelumnya sudah ada asta Pengeran Angga Dipa. Cungkup ini dinanamkan cungkup Pangeran Pulang Jiwo, karena menurut penjelasan yang saya dapat, Pangeran Pulang Jiwo merupakan raja yang sangat dicintai rakyatnya, sehingga tetap dikenal hingga saat ini. Bahkan beliau itu dikenal dengan penguasan yang memiliki banyak karomah. Di asta ini tidak ada jasad beliau, karena jasadnya lenyap saat akan dikuburkan,” jelas Rahwini yang kemudian langsung mengajak pindah melihat dua cungkup lainnya.

Tonton Video ini:

Penulis : Fauzi

Editor : Mamira.ID