Asta Tinggi Bagian I: Cungkup Pangeran Panji Pulang Jiwa

Keberadaan tiga cungkup di area dalam Asta Tinggi bagian barat tentu punya ciri khusus dan keunikan masing-masing. Sebab itu, tulisan ini akan mengupas tuntas baik dari segi arsitektur maupun ornamentasi yang ada pada masing-masing cungkup. Dari sini, penulisan akan mulai untuk lebih fokus pada cungkup pertama yang merupakan cungkup paling tua berdasarkan usia makamnya, yakni cungkup Pangeran Pulang Jiwa.

Untuk menuju cungkup satu, pizarah akan melewati tiga pintu gerbang. Pintu gerbang pertama tentu merupakan pintu gerbang depan atau pintu utama Asta Tinggi itu sendiri. Dari sini saja peziarah akan langsung melihat kemegahan dan keunikan komplek pemakaman ini, setelah melewati pintu gerbang utama, mata peziarah akan dimanjakan pada beragam corak arsitektur yang menakjubkan.

Untuk menuju pintu gerbang kedua, peziarah harus melewati jalan sepanjang kurang lebih 30 meter. Jalan ini memiliki penamaan dan arti tersendiri, area ini biasa disebut area profan. Di lokasi ini terdapat Patthusen (tempat mensucikan diri dari hadas kecil/berwudhu’). Area ini juga ada beberapa pepohonan. Salah satunya adalah pohon Sawo kecik, pohon ini terkadang dijadikan tempat berteduh bagi para peziarah. Bagi orang Jawa, pohon ini memiliki arti sarwa becik atau serba baik. Selain bermakna filosofis, pohon sawo kecik juga bernilai guna tinggi. Para empu sering membuat pegangan keris dari kayu sawo kecik karena keras, tak mudah retak, berwarna merah kecoklatan, dan seratnya yang halus.

Baca Juga:  Dharma Agung: Orang Istimewa Pangeran Letnan Sumenep

Terdapat juga pohon beringin, pohon ini melambangkan tugas-tugas penguasa untuk melindungi rakyatnya melawan penyakit dan kelaparan. Daun melambai-lambai mengikuti arah mata angin yang sejuk, membuat para peziarah betah untuk berlama-lama di area komlpek asta.

Kemudian mata akan kembali dibuat takjub dan terpana dengan arsitektur kuno, setelah melewati gapura atau pintu gerbang kedua yang masih tampak kokoh dengan dilengkapi empat pilar berdiri tegak dengan warna kuning dan biru sebagai ciri khas dari Asta Tinggi. Warna kuning pada arsitektur yang terdapat pada setiap bangunan di Asta Tinggi memang meniru corak warna keraton Sumenep yang mempunyai arti Konenglijk yang berarti kantor raja atau kadipaten.

Arsitektur pintu gerbang kedua menunjukkan bahwa Islam sudah masuk dan berkembang di Sumenep. Pintu gerbang tersebut sampai saat ini masih tetap terawat dan keasliannya masih terjaga. Di pintu gerbang ini terdapat lambang mahkota pada bagian atasnya, lambang tersebut tidak jauh berbeda dengan lambang kraton pada zaman dahulu. Terdapat pula lambang ranting daun yang masih tetap terukir dengan jelas. Lambang mahkota merupakan lambang yang memilki simbol martabat kerajaan dan kekuasaan. Sedangkan lambang bunga atau daun memilki arti perdamaian untuk masyarakat jagat raya.

Baca Juga:  Se Malembung dan Somor Tanda’, Dua Area Mistis di Desa Pragaan Laok

Setelah melewati pintu gerbang kedua, peziarah kembali melewati lorong menuju pintu gerbang ketiga. Area ini dinamakan area profan dua. Berbeda dengan prafon sebelumnya, prafon du aini terdapat makam kiri dan kanan, prafon ini memiliki kekeramatan tersendiri, sehingga memberikan pengaruh positif kepada para peziarah. Di ujung lorong profan ini terdapat pendopo yang berdiri kokoh dan masih terawat dengan baik. Di dalam pendopo terdapat empat tiang warna coklat sebagai penyangga atap bagian tengah pendopo.

Semakin kebelakang menuju cungkup satu, suasana semakin hening, sayup-sayup angin datang menerpa menambah ketenangan. Peziarah tampak keluar masuk cungkup silih berganti, yang terdengar hanyalah lafadz zdikir dan suara peziarah melantunkan ayat-ayat suci Al-quran.

“Hari ini memang banyak peziarah, padahal bukan hari weekend atau hari libur. Belakangan ini memang semakin ramai peziarah, kalau sebelumnya agak sepi karena korona. Bahkan Asta Tinggi sempat ditutup. Mungkin orang-orang luar Sumenep ingin liburan sekalian ziarah ke Asta Tinggi,” ujar Rahwini yang terus menemani tim Mamira liputan.

Setelah melewati pendopo, peziarah melewati undakan atau anak tangga menuju pintu gerbang yang terakhir. Pintu gerbang yang juga tetap tampak kokoh ini masih lengkap dengan dua daun pintu yang terbuat dari pohon jati. Di pintu gerbang bagian atas terdapat 9 medalion berjejer landai. Pintu gerbang ini bersambung dengan tembok pemisah antara area asta bagian barat dan timur. Pagar ini mempunyai ketebalan kurang lebih satu meter. Sama halnya dengan tembok yang mengelilingi area Asta Tinggi, tembok pemisah ini juga terdiri dari batu yang disusun rapi tanpa campuran semen ataupun pasir.

Baca Juga:  La'ang dan Cerita Pohon Kehidupan

Jalan setelah pintu gerbang ini merupakan area yang cukup sakral atau keramat karena sudah memasuki area cungkup makam para raja Sumenep, di area inilah tiga cungkup itu berada. Semakin kebelakang area asta, maka area tersebut semakin dikeramatkan, hal ini berdasarkan konsep tata letak bangunan suci kebiasaan sejak jaman pra islam.

Di area inilah peziarah akan melihat dengan jelas tiga cungkup makam para raja, namun seperti dikatakan diawal, tulisan ini akan fokus pada cungkup satu terlebih dahulu. Cungkup Pangeran Pulang Jiwo berada diantara cungkup Pengeran Jimat dan cungkup Bindara Saod. Namun, letak cungkup makam tertua itu agak sedikit menjorok kebelakang, jika dilihat dengan seksama, posisi ketiga cungkup itu berbentuk segi tiga sama kaki.