Sejak Kapan Gelar Panembahan Digunakan di Madura Timur?

gelar panembahan baru digunakan pada abad 18. Yang menggunakannya ialah Pangeran Natakusuma (1762-1811), putra sekaligus pengganti Bindara Saot alias Tumenggung Tirtonegoro, penguasa Sumenep pada 1750-1762.

Itulah sebabnya, Pangeran Natakusuma dikenal dengan sebutan Panembahan Sumolo atau Somala.

“Maknanya ialah raja Sumenep yang mula-mula bergelar panembahan,” kata Nurul Hidayat, salah satu pemerhati sejarah di Sumenep.

Dalam buku “Sejarah Berdirinya Wakaf Panembahan Sumolo Sumenep” (1975) susunan M. Mochtar Mangkuadiningrat, juga disebut makna nama Sumolo, seperti yang disampaikan oleh Nurul. Buku itu mempertegas bahwa sebelum Panembahan Sumolo, para penguasa Sumenep bergelar Pangeran atau Tumenggung.

“Memang, dalam daftar raja-raja Sumenep, ada nama Panembahan Joharsari yang disebut hidup di abad 14. Namun secara arkeologi tidak didukung sumber otentik. Terlebih di masa itu pengaruh kerajaan Majapahit masih kuat, sehingga penggunaan simbol-simbol keislaman oleh penguasa lokal yang notabene di bawah naungannya, dipertanyakan. Di samping nama Joharsari juga tidak lazim digunakan di Madura Timur khususnya,” ujar Nurul.

Baca Juga:  Raden Abdul Rachim Pratalikrama: Putra Madura Perintis Kemerdekaan RI

Panembahan Sumolo yang bernama asli Asiruddin ini bisa dikata merupakan maestro di kalangan penguasa dinasti terakhir (1750-1929). Dua bangunan monumental Sumenep yang masih bisa disaksikan oleh generasi saat ini, yaitu keraton dan masjid Jami’, lahir di masa Sumolo.

Beliau juga mewariskan sistem Baca halaman selanjutnya di sini⇒