pelestarian peninggalan-peninggalan keraton, yang berjalan secara estafet, dan dikelola lembaga wakaf yang dipimpin Nadhir dari trah keraton. Berkat adanya sistem ini, peninggalan sejarah, khususnya di masa dinasti terakhir masih bisa lestari dari tangan usil dan panas pihak kolonial.
“Sisa kebesaran masa lalu Madura Timur masih bisa disaksikan langsung dengan mata telanjang. Bangunan keraton Sumenep ini satu-satunya yang masih ada di Madura, bahkan satu-satunya di Jawa Timur,” ujar Ja’far Shadiq, dari Komunitas Ngopi Sejarah (Ngoser).
Sempat ada upaya-upaya yang menjurus pada “penghilangan” memori kebesaran sejarah Sumenep dari kaum kolonial Belanda, namun tak berhasil. Salah satunya dengan dibangunnya kantor ambtenaar kolonial, yang dampaknya merusak sebagian pagar asli keraton. Bangunan yang di kemudian hari pernah menjadi kantor Disparbudpora Sumenep, dan sekarang sudah difungsikan lain.
Panembahan Sumolo juga dikenal sebagai tokoh yang memberi apresiasi sekaligus penghormatan tinggi pada tokoh-tokoh ulama tak terkecuali di luar Sumenep. Apresiasi yang diwujudkan dalam bentuk pemberian hadiah prasasti sekaligus nisan makam ulama-ulama besar pendahulunya dengan bahan yang tergolong mewah dan istimewa.
“Seperti bangunan makam Kiai Raba di Pamekasan, yang berbahankan giok khusus yang didatangkan dari Tiongkok. Bahkan makam ayah pendiri kasultanan Kadriyah di Pontianak, yaitu Sayyid Husain al-Qadri, batu nisannya merupakan hadiah dari Panembahan Sumolo. Itu diterangkan dalam nisan yang terbuat dari giok pilihan,” tambah Ja’far.
Panembahan Sumolo tercatat wafat pada 2 Rabiul Awwal 1230 Hijriah (1811). Jenazahnya di makamkan di kubah tersendiri. Beliau digantikan putranya yang bernama Raden Bagus Abdurrahman alias Pangeran Notokusumo II, yang dikenal dengan Sultan Pakunataningrat.
Red