Mamira.ID – Kamis (20/05/2021) besok, sebuah tradisi tahunan yang begitu luar biasa, tiba. Tradisi ini bisa dikata lebaran kedua bagi warga Madura khususnya. Tellasan Topa’, begitu orang-orang pulau garam menyebutnya. Tellasan bermakna lebaran atau hari raya. Sedangkan topa’ merupakan bahasa daerah orang-orang Madura kala menyebut ketupat.
Tellasan Topa’ bagi warga Madura, termasuk bagian dari budaya yang berkategori sakral. Disebut sakral, karena sebelumnya sebagian umat Islam ada yang menjalani puasa sunnah enam hari sejak di hari kedua bulan Syawal. Secara tradisi, tellasan topa’ digelar pada tanggal 8 Syawal, atau enam hari pasca lebaran Idul Fitri.
Semasa hidupnya, salah satu budayawan Madura, mendiang Edhi Setiawan menyebut Tellasan Topa’ sebagai salah satu budaya Madura yang sangat unik.
Om Edhi, begitu panggilan akrabnya, menyebut Tellasan Topa’ sebagai metamorfosa budaya yang begitu luar biasa.
”Saya melihatnya sebagai kegiatan yang merupakan campuran ritual, budaya, yang sangat luar biasa. Saya merasa ini suatu tempat luapan untuk melepaskan kepenatan, kegembiraan di tengah pergulatan hidup yang cukup keras. Tellasan topa’ merupakan even yang bagus. Di saat itu terjadi perputaran ekonomi yang sangat besar. Seperti di tempat wisata Lombang misalnya, atau di situs budaya berupa tempat-tempat ziarah, berapa pendapatan yang bisa diraih. Sangat besar. Ini sangat perlu dijaga kelestariannya,” kata Edhi, di masa hidupnya, beberapa tahun lalu.
Secara historis, tradisi ini berlangsung turun-temurun sejak masa pembumian awal Islam di Nusantara, khususnya di tanah Jawa. Islam yang diperjuangkan dan dibawa oleh tokoh-tokoh Wali Sanga Jawadwipa. Topa’ atau ketupat, merupakan makanan berbahan dasar beras yang dibungkus anyaman janur kuning. Biasanya, topa’ disajikan dalam bentuk menu berjenis soto, opor, campor, kaldu, dan lainnya.
Di antara sekian banyak makna Tellasan Topa’, salah satu pelajaran yang penting untuk diambil dalam kehidupan sehari-hari ialah sikap guyub, gotong royong, saling membantu, dan saling memberi. Sikap tersebut seringkali kita temui, khususnya di masa lampau, tentang kisah dan pengalaman-pengalaman dalam proses menyambut Tellasan Topa’.
Dulu, warga menyiapkan topa’ dengan swadaya. Mulai mencari janurnya, lalu menganyam, dan selanjutkan mengisi wadah atau orong dalam bahasa Maduranya, dengan beras. Sebelum selanjutnya mengukus dalam tungku berapi. Semuanya, dilakukan bersama-sama. Melibatkan banyak anggota keluarga, sanak kerabat dan tetangga. Saling membantu satu sama lain. Dalam suasana suka cita dan gembira ria.
“Kegiatan bertukar menu masakan ketupat, saling silaturrahim terasa begitu mengasyikkan. Mungkin bagi generasi yang mengalami masa kecil di tahun 90-an masih bisa mengingatnya,” kata RB Muhlis, salah satu pemerhati sejarah di Sumenep pada Mamira.ID.
Lambat laun, suasana ini mulai bergeser saat orong topa’ atau wadah topa’ mulai dijual bebas di pasar-pasar maupun di pinggir jalan. Warga hanya tinggal mengisinya dengan beras dan mengukusnya. Suasana guyub masih agak terasa.
Namun pasca tahun ‘90-an, di tengah semakin sibuknya aktivitas banyak orang, kegiatan menyambut ketupat lebih instan lagi, yakni dengan membeli ketupat masak. Warga cukup membelahnya dan menyajikannya di saat Tellasan Topa’, baik pada keluarga di rumah, atau sanak kerabat dan tetangga dekat.
Sudah jarang ditemui aktivitas perrumah atau perkeluarga yang masih menyempatkan diri membuat ketupat sendiri. Entah apa karena budaya instan mulai menyelimuti kehidupan sehari-hari kita atau faktor waktu yang kadang banyak tidak sempat meluangkannya karena kesibukan yang tambah padat.
Namun alih-alih menghidupkan tradisi masa lampau, tak jarang warga yang sudah rindu dengan ketupat dan suasana guyub dalam tradisi Tellasan Topa’, justru cukup dengan membelinya di warung-warung soto, campor, dan rumah makan yang menyediakan menu Tellasan Topa’.
Bagaimana sahabat Mamira, asyik bukan membayangkan suasana Tellasan Topa’ di masa lampau? Ingin menghidupkannya kembali? Yuk, kita coba!
Red