Peristiwa Ajaib di Balik Bertobatnya Kiai Ceddir, Cucu Kiai Khatib Paranggan

Bertobatnya Sang Kiai

Alkisah, suatu ketika Kiai Ceddir baru datang dari tempat maksiat dan marah kepada sang istri. Beliau meminta kunci lemari untuk mengambil uang dan harta berharga lainnya. Namun, Nyai Ceddir bilang kalau di lemari tidak ada apa-apa. Kiai Ceddir pun marah sehingga meminta dengan paksa kunci tersebut. Dari saking marahnya, beliau sampai berniat akan mencelakai istrinya.

Dengan masih menyimpan amarah, suatu ketika Kiai Ceddir mengisi “Patthesan” tempat berwudu Nyai Ceddir dengan ular berbisa dengan niat untuk mencelakai sang istri. Namun ajaibnya, saat Nyai Ceddir mengambil wudu di tempat yang di dalamnya berisi ular, malah berubah menjadi kepingan emas yang sangat banyak. Hal itu membuat Kiai Ceddir alias Kiai Bungin-bungin terkejut. Sang Kiai pun takjub menyaksikan hal tersebut, sehingga membuat hati beliau tak kuasa untuk insaf dan mengakui kalau sang istri bukan orang sembarangan, akan tetapi merupakan sosok perempuan sufi berkaromah tinggi.

Baca Juga:  Kisah Keramat Besan Sunan Kudus di Madura Timur

“Kisah ini adalah detik-detik di mana Kiai Ceddir mulai berubah, dari sosok yang ahli maksiat lalu menjadi sosok sufi dan ahlul ibadah. Beliau memilih pamitan kepada istrinya untuk kembali ke kampung halamannya, di mana beliau dibesarkan yakni di Desa Bungin-bungin, Kecamatan Dungkek. Kiai Ceddir memilih untuk menyepi dan mendekatkan diri kepada Sang Khalik sampai akhir hayatnya. Serta, beliau berkata kepada istrinya: ‘Mulai sekarang, aku mohon izin untuk meninggalkan segala macam kehidupan duniawi ini. Kita akan berjumpa lagi kelak di akhirat nanti,’ ucap Kiai Ceddir kepada sang kekasih,” ujar Iik.

Ket.Foto: Asta Kiai Bungin-bungin atau Kiai Ceddir tampak dari udara. (Mamira.ID)

Pasarean Kiai Bungin-bungin

Setelah peristiwa itu, Kiai Ceddir dikisahkan berkelana menuju ke arah timur untuk berkhalwat dan beruzlah. Konon, beliau melakukan tirakat di bawah pohon nangnger  hingga akhir hayatnya, tepatnya di kampung halaman tempat beliau lahir, yakni Desa Ngen-bungen, Kecamatan Dungkek. Dari tempat sakral itulah, beliau dikenal dengan sebutan Kiai Ngen-bungen atau Bungin-bungin.

Baca Juga:  Sape Taccek: Pajangan Sapi ‘Cantik’ Madura Bernilai Jutaan Rupiah  

Jenazah sang Kiai dikebumikan di sana, berdampingan dengan asta ibundanya, yakni Nyai Berrek binti Kiai Khatib Paranggan. Pusara keduanya tampak sangat sederhana. Jirat atau kijing makan telah terbalut dengan semen. Akan tetapi, nisannya masih terjaga keasliannya. Asta atau makamnya dipagari dengan tembok setinggi satu meter dengan luas 4×2 meter persegi, dengan pintu masuk atau gapura sederhana.

“Pasarean Kiai Bungin-bungin masih terawat dan terjaga kesitusannya, serta banyak juga para peziarah yang datang ke sana. Bahkan, hingga dari luar Madura. Pusara sakral ini kenapa tidak diberi atap? Karena, menurut keterangan para sepuh, beliau tidak mau (Madura: Ta’ Kasokan) diberi atap atau cungkup,”  pungkas Iik.

Baca Juga:  Melihat Jejak Kiai Agung Rahwan dan Ribuan Bambu Merunduk di Tanah Sendir  

Jangan lupa tonton juga video Mamira.ID di youtube:

Penulis: Abd Warits

Editor: Mamira.ID