Mamira.ID – Sebagai makhluk sosial, kita harus sadar bahwa dalam kehidupan sehari-hari tidak bisa lepas dari pergaulan antar sesama manusia. Pun kita tidak bisa menghindar dari suasana lingkungan manusia yang ada di sekitar kita. Oleh karena itu, kita harus beretiket dalam pergaulan sehari-hari dengan sesama.
Sering kali hal tersebut dianggap sepele oleh sebagian orang, bahkan sengaja disepelekan. Sejatinya, tidaklah benar jika demikian, kita sebagai ummatan wasathan (umat yang hidup di tengah-tengah masyarakat, red) haruslah tunduk, patuh, dan berusaha untuk menyesuaikan diri dengan adat istiadat yang berlaku di suatu daerah atau daerah di mana kita tinggal. Agar kita bisa bergaul dengan harmonis bersama masyarakat di sekitar kita.
Bagi masyarakat Sumenep, khususnya, menjaga tata krama merupakan hal yang sangat dijaga dan selalu ngastete (berhati-hati, red) ketika bersosialisasi dengan orang lain. Baik dari segi sikap, tutur kata, dan lain sebagainya. Misalnya, saat mereka hendak menulis nama seseorang di dalam surat undangan, ditulislah (nama orang yang hendak diundang) dengan sangat lengkap dan penuh kehati-hatian.
Bahkan, saking hati-hatinya dan khawatir salah tulis nama atau gelar, mereka bertanya langsung kepada orang yang hendak diundang tersebut, atau ke tetangganya. Memang terkesan sepele, namun jika diabaikan, akan menyebabkan orang yang diundangnya tidak hadir. Mengapa demikian? Karena, bagi masyarakat Sumenep, hal tersebut merupakan bagian daripada “tengka” atau tata krama.
Oleh karena itu, orang yang suka meremehkan tata cara pergaulan dengan sesama, tidak menghormati orang lain, dan tidak tahu tata krama dianggap “Ta’ Kenal Ka Jhudanagara”.
Istilah di atas tidaklah sekedar istilah tanpa makna. Mungkin sebagian kita tak mengenal sosok Yudanegara. Sehingga timbul pertanyaan, mengapa orang yang tak tahu tata krama di-qiyas-kan tak mengenal sosok istimewa itu oleh masyarakat Sumenep. Hal tersebut dikarenakan, beliau adalah salah satu penguasa Sumenep yang dikenal sangat luhur dan baik budi pekertinya.
Tumenggung Yudanegara lahir dengan nama Raden Bugan. Beliau adalah putra mahkota keraton Sumenep. Ayahnya bernama Raden Abdullah alias Pangeran Cakranegara, merupakan Adipati Sumenep yang gugur dalam peristiwa invansi di Mataram pada tahun 1626 Masehi. Pada saat itu, Raden Bugan alias Tumenggung Yudanegara berhasil diselamatkan dan dibawa ke Jawa.
Di Jawa, beliau dititipkan ke Cirebon dan diasuh oleh Kiai Cirebon. Selain mengasuhnya, Kiai Cirebon mendidiknya menjadi sosok yang sangat mumpuni. Sehingga di kemudian hari, saat Tumenggung Yudanegara kembali mendapatkan hak warisnya menjadi adipati di Sumenep, sang guru ikut serta ke Sumenep hingga akhir hayatnya dan dimakamkan di kawasan Kepanjin, sebelah utara keraton Sumenep. Dalam Babad Sumenep, beliau berhasil merebut kembali Sumenep atas bantuan Trunojoyo saat menduduki Mataram.
Selama memerintah di Sumenep, Raden Bugan alias Tumenggung Yudanegara dikenal oleh masyarakat sebagai sosok penguasa yang memiliki kepribadian yang sangat luhur, santun, dan berakhlak mulia. Sehingga, walaupun sudah berabad-abad, nama beliau terpatri begitu dalam di hati masyarakat Sumenep, bahkan hingga saat ini.
Oleh karena itu, bagi masyarakat Sumenep, orang yang tak menghormati dan menghargai sesamanya, dan suka meremehkan tata cara pergaulan yang berasal dari budaya lokal, baik berupa warisan nenek moyang ataupun tradisi, adat istiadat, serta kebiasaan yang ada di daerahnya, dianggap sebagai orang yang tak tahu adab. Pantas, jika mereka (orang Sumenep) mempersembahkan kado istilah bagi orang yang tidak tahu tata krama dengan sebutan “Ta’ Kenal Ka Jhudanagara” (tidak mengenal Yudanegara_red).
Jangan lupa tonton video Mamira.ID di youtube:
Mamira.ID