Nyai Ceddir: Ulama Perempuan Berkaromah Tinggi

Karomah  Nyai Ceddir

Sosok Nyai Ceddir tentunya banyak memiliki karomah dan keistimewaan salah satunya adalah sebagai istri yang tangguh dan penyabar. Bahtera rumah tangga Nyai  Ceddir dengan K. Bungin Bungin tergolong sulit dan rumit, namun dibalik kerumitan tersebut  Nyai Ceddir tetap menghadapinya dengan penuh kesabaran. K. Bungin Bungin meskipun putra dari kalangan ulama namun memeliki sikap keanehan dan tak semestinya dimiliki seorang keturunan ulama dan kyai. Sikapnya yang hedonis juga mempunyai karekter sikap yang kurang baik seperti suka mabuk mabukan, judi dan bahkan mengadu ayam serta merupakan sikap dan tingkah laku yang kurang baik.

Sikap K. Bungin bungin yang terkadang suka marah marah dan bersikap tidak baik terntu Nyai Ceddir harus mengarungi bahtera rumah tangganya dengan penuh kesabaran. Dikisahkan bahwa Nyai Ceddir memiliki   karomah yang mampu memasak meski tampa bahan makanan pokok, meski yang di rebus dalam keadaan kosong tetaplah ia bisa menikmati hidangan yang beliau dan keluarganya inginkan.

“Nyai Ceddir termasuk orang yang sabar dalam menghadapi seorang suami seperti K. Bungin Bungin, karena beliau tidak seperti orang-orang seperti biasanya. Tingkahnya aneh, kalau kata orang Madura beliau itu “Helap” artinya bertingkah laku diluar nalar,” cetus Ra Cicik.

Baca Juga:  Langka, Berikut Kisah Pernikahan Pembesar Madura dengan Wanita Eropa

Karomah Nyai Ceddir yang lain, hal ini berdasarkan cerita masyarakat dan dipercaya bahwa dulu Nyai Ceddir meski tidak memasak nasi, ceddir atau centong miliknya bisa menghasilkan nasi. Ceddir/alat mengambil nasi beliaulah menjadi nama laqab yang sampai  saat ini tetap dipercaya oleh masyarakat luas.

“Pohon jati di depan pusara beliau itu ada yang bilang merupakan alat untuk membungkus nasi yang di pakai Nyai Ceddir semasa hidupnya, terus sebelah barat asta beliau ada pula pohon bambu, cerita para pendahulu saya bambu itu merupakan “Pitheng” bugkusan nasi tersebut,” ujarnya.

Selain karomah diatas ada karomah lain yakni mampu meluluhkan hati K. Bungin Bungin hingga benar benar insaf dan memilih menuju jalan yang lebih baik.

“Al kisah suatu ketika K. Abdullah baru datang dari tempat kemaksiatan dan marah kepada sang istri, beliau meminta kunci lemari guna mengambil uang dan harta berharga lainnya, namun Nyai Ceddir bilang kalau di lemari tidak ada apa  apa. K. Abdullah pun marah sehingga memaksa meminta kunci tersebut sampai sampai dari saking marahnya beliau berniat akan mencelakahi istrinya. Suatu hari K. Abdulah mengisi “Patthesan” tempat berwudhu’ Nyai Ceddir dengan ular berbisa dengan niatan akan mencelakaii sang istri, namun apa yang terjadi, saat Nyai Ceddir mengambil wudhu’ yang di dalamnya berisi ular malah  beruba menjadi kepingan emas yang sangat banyak, hal itu membuat K. Abdullah Bugin Bungin terbelalak, K. Abdullah Bungin Bungin takjub menyaksikan hal tersebut, sehingga membuat hati beliau tak kuasa untuk insaf dan mengakui kalau sang istri bukan orang sembarangan akan tetapi merupakan sosok perempuan sufi berkaromah tinggi.

Baca Juga:  Kisah “Joko Piturun” yang Tenggelam di Kolam Keraton Mandilaras

Kisah ini adalah detik-detik dimana K. Abdulah mulai berubah, dari sosok yang ahli maksiat lalu kemudian menjadi sosok sufi dan alhul ibadah, beliau memilih pamitan kepada istrinya untuk kembali ke kampung halamannya di mana beliau dibesarkan yakni di desa Bungin bungin kecamatan Dungkek. K. Abdullah memilih menyepi mendekatkan diri kepada sang Khaliq sampai akhir hayatnya,” jelas Ra Cicik panjang lebar menceritakan kisah karomah-karomah Nyai Ceddir semasa hidupnya kepada tim mamira.

Pasarean Nyai Ceddir

Pasarean Nyai Ceddir lokasinya terletak dibelakang masjid K. Faqih desa Lembung barat kecamatan Lenteng, Sebuah pusara kuno dengan posisi  letaknya paling ujung, serta sebuah pahatan bajangan berdiri kokoh di pusara beliau, semua tertata rapi tampa ada satu pun yang mengalami pemugaran dengan dinding susunan batu putih/kompung masih berdiri kokoh hingga saat ini. Pintu gerbang sengaja dibuat pendek, sehingga para peziarah dipastikan harus membungkukkan badannya saat akan memasuki asta, hal tersebut pertanda ketawadu’an pada sosok ahlul qabri yang ada di dalamnya. Terdapat pula bangunan soko guru berupa tiang terbuat dari kayu jati juga masih tampak indah menaungi pintu tersebut.

Baca Juga:  Loteng, Potret Miniatur Keraton dalam Keraton di Sumenep (1)

Hamparan lahan terbuka menjadi tempat peristirahatan terakhir beliau  tampa sebuah bangunan beratap/congkop, ini bukti bahwa beliau tidak berkenan/ta’ kasokan  diberi congkop, serta beliau tidak berkumpul dengan pasarean suaminya. Area komplek Nyai Ceddir merupakan maqburah para  kaum hawa, kompeks  pemakaman Nagere bini’ menurut K. Ahmad Rahwi salah satu penjaga asta tersebut. Sedangkan maqburah suami Nyai Ceddir terletak di desa  Bungin Bungin Kecamatan Dungkek, sehingga sampai saat ini di kenal asta K. Bungin Bungin/K. Abdullah.

“Semuanya memang masih asli, orisinil. Tak ada banyak perubahan, yang berubah hanya gunungan di depan asta beliau. Dikasi keramin tengahnya, kalau pinggirnya tetap batu yang memang dari dulu, ga ada yang berani merubah,” pungkas Lora Cicik.

Jangan lupa tonton juga video ini:

Penulis: Abd. Warist

Editor: Mamira.Id