Mamira.id – Paddusan merupakan tanah kelahiran ulama perempuan sufi berkaromah tinggi, Nyai Ceddir banyak orang menyebutnya, beliau seorang tokoh sufi dari kaum hawa yang cukup tinggi dan tak bisa kita baca dengan akal manusia pada umunya. Inilah bentuk kuasa Ilahi rabbi atas makhluknya tanpa memandang jenis laki-laki atau pun perempuan, serta sebagai bentuk titisan darah ulama Nandur dari tanah Jawa, benar kata pepatah lama, buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya.
Nyai Ceddir dikisahkan sebagai sosok ulama perempuan yang semasa hidupnya banyak berkiprah di tanah Lembung, Kecamatan Lenteng, sebagai tempat mengajarkan ajaran agama islam yang dibawa leluhurnya pada abad ke 17. Sebuah perkampungan yang cukup asri dan damai menjadi tempat beliau berdakwah semasa hidup hingga akhir hayatnya pun tetap disana beliau bersemayam. Tempat tersebut sampai saat ini masih ramai di ziarahi karena tergolong situs peninggalan sejarah para leluhur raja-raja Sumenep era dinasti Bany Abdullah di abad terakhir masa pemerintahhan keraton Sumenep.
“Ramai juga para peziarah yang datang kesini, cuma kebanyakan para peziarah lokal, tapi terkadang ada juga dari luar madura, seperti jawa. Cuma kalau dari luar jawa biasanya saat setelah lebaran,” ujar Lora Cicik, salah satu tokoh masyakat Lembung beberapa waktu lalu kepada tim mamira.
Jika ditarik secara jalur nasab, tokoh perempuan tersebut masih cucu waliyullah Nandur dari tanah jawa yang cukup terkenal yakni As Sayyid Al Alim Al Allama Ahmad Baidlawi yang kita kenal dengan julukan Pangeran Katandur, dari putranya yang bernama K. Khatib Paddusan. Nyai Ceddir merupakan saudara tuanya wali agung tanah Gumu’/Barangbang yakni K. Ali Barangbang yang komplek maqburahnya ramai dengan para peziarah dari seluruh Madura, jawa dan luar jawa, tepatnya di sebelah timur Bandara Trunojoyo Sumenep.
“Kalau asta K. Ali Barangbang banyak yang ziarah kesana, sama halnya seperti Asta Tinggi, banyak peziarah dari luar madura, apalagi sebelum bulan suci Ramadhan, membuldak tuh yang namanya peziarah,” ujarnya.
Jadi jika kita tarik kesimpulan tokoh perepuan sufi tersebut masih keturunan dari kanjeng Sunan Kudus, salah satu anggota wali Songo yang mendapat gelar waliyul ilmi sekaligus seorang senopati yang gagah berani dari kerajaan Demak Bintoro, pengganti secara sah atas wafatnya senopati sepuh Kanjeng Sunan Andung yang tak lain adalah ayahanda beliau sendiri.
“Nyai Ceddir ini memang bukan seorang perempuan biasa, silsilahnya jelas merupakan keturunan waliyullah. Bagi orang kampung sini beliau ini dikeramatkan,” Jelas Ra Cicik.
Keturunan Nyai Ceddir
Nyai Ceddir menikah dengan K. Abdullah atau lebih masyhurnya K. Bungin Bungin putra yang merupakan putra dari pasangan Nyai Berrek dengan K. Wangsadikara dari Mataram. Nyai Berrek merupakan putra dari K. Khatib Paranggan, serta cucu dari Pangeran Katandur . Keduanya tergolong menikah sesama famili Nyai Ceddir masih sepupuh dari ibu K. Abdullah Bungin Bungin, nasab keduanya sama sama bertemu di Pangeran Katandur.
Pernikahan Nyai Ceddir dengan K. Bungin Bungin di karuniai 2 orang putra/i yakni K. Jalaluddin dan Nyai Kartika. Dari K. Jalaluddin lah lahir generasi ulama dan umara’ yang banyak menyebar di seruluh tanah Sumenep dan sekitarnya. Bukti kongkritnya sosok para pemimpin era kraton Sumenep yang sangat jaya dimasanya.
“Seperti Sultan Abdurrahman itu, beliau merupakan keturunan Nyai Ceddir. Sultan Abdurraham selain seorang raja atau pemimpin, beliau juga alim dan menguasai banyak macam bahasa,” tuturnya.