Menikahi Perempuan Cina
Kiai Agung Nepa beristrikan Raden Ayu Koros, salah satu keturunan Kiai Being Seing, tokoh Tionghoa Muslim era awal dalam peradaban bangsa luar di Sumenep. Kiai Being Seing merupakan tokoh tertua sekaligus cikal bakal kampung Raden atau Kiai di Desa Tamedung ini.
“Kiai Being Seing ini merupakan salah satu di antara rombongan imigran Cina yang berlabuh di Sumenep. Bahkan beliau juga ikut serta pembangunan Keraton Sumenep dan Majid Jami’. Arsitek Masjid Jami’ itu kan Lauw Piango, imigran Cina, tahu sejarah kan?” terang Bindara Kholiq dengan nada bertanya.
Sepeninggal Kiai Agung Nepa tirakat, sang istri pun tak mau kalah dengan melakukan tirakat juga. Selama empat puluh satu hari-empat puluh satu malam, Raden Ayu Koros berzikir dengan biji jagung sebagai tasbihnya.
“Ada dua versi mengenai alat hitung wiridannya, ada yang bilang menggunakan jagung, ada yang mengatakan menggunakan biji buah asam (Madura: magi’). Selama bertirakat itu beliau juga menggali tanah dengan jarinya, hingga di ujung hari terakhir tirakatnya muncullah sumber mata air, sumbernya masih ada sampai saat ini,” sambungnya.

Sumber itu kini dijadikan tempat sarana berwudu, pemandian, air minum bahkan untuk pengairan sawah oleh masyarakat kampung Togu dan sekitarnya. Sumber itu kemudian dikenal dengan Sumber (Madura:somber) Nepa. Disebut Somber Nepa karena kemudian Kiai Agung Nepa yang melanjutkan pembangunan sumber tersebut.
“Sumber itu kemudian dibangun dengan diberi perigi dari batu di sekelilingnya oleh Agung Nepa. Karena khawatir batu periginya jebol, kemudian diganjal dengan pohon kelapa pada sisi selatan sumber. Nah, pohon kelapa tersebut oleh Kiai Agung Nepa hanya dirobohkan menggunakan tangannya. Kalau bahasa Maduranya ‘epanggu’. Saya kira itu juga merupakan salah satu bukti kewalian dan karomah yang dimiliki beliau. Bahkan sampai sekarang pohon kelapa itu masih tetap ada, padahal usianya sudah lebih dari 200 tahun,” ujar Pak Wadi’ salah satu sesepuh di kampung Togu. Klik halaman selanjutnya →