Misteri Kereta Kencana Melor, Kendaraan Raja Sumenep dari Negeri British

Akhirnya, Kurniadi memutuskan mengundang para ahli pembuat kereta kencana dari Keraton Jogja. “Lalu datanglah sekitar tujuh orang dari sana,” kata Kurniadi.

Ketujuh orang tersebut lalu minta ijin untuk menyepi atau melakukan laku tirakat di Asta Tinggi Sumenep agar mendapatkan petunjuk secara batin. Tujuh hari tujuh malam, tujuh ahli pembuat kereta itu menyepi, sampai datanglah petunjuk gaib.

“Selesai tirakat, para ahli itu datang ke saya dan menunjukkan rupa kereta yang didapatkan melalui petunjuk batin itu. Setelah itu mereka pamit pulang ke Jogja untuk memulai pekerjaannya membuat kereta. Roda dan pir dibawa ke Jogja,” kata Kurniadi.

Kurang lebih 3 bulan, “Kereta Kencana Melor” pun kembali ke Sumenep.

Baca Juga:  Anggadipa, “Plt Raja” Sumenep Yang Tak Pulang

Selanjutnya, “kereta kencana” hadiah dari pemerintah Inggris pada Sultan Abdurrahman karena telah membantu menerjemahkan sebuah prasasti berbahasa Sanskerta itu, dipajang dengan apik dan menarik mata pengunjung untuk melihatnya dari dekat.

Nah, karena penasaran, atas petunjuk Kurniadi, media ini mencoba membuka sebuah lapisan di sebuah bagian kereta. Dan benar, di situ ada keterangan tahun pembuatan ulangnya, sekaligus masa pemerintahan Bupati kala itu.

“Ya, begini, karena ada keterangan di masa Bupati Soegondo, akhirnya saya tutup untuk menjaga perasaan Bupati baru yang mengganti. Itu fakta sejarahnya. Masyarakat Sumenep dan pengunjung museum perlu tahu. Itu saja,” tutup Kurniadi sambil tersenyum.

Hadiah Yang Tak Dipakai

Baca Juga:  Unik, Kubah Kaca di Puncak Masjid Kuna Ini Jadi Patokan Pergantian Musim

Dalam beberapa cerita tutur, kereta melor ini jarang digunakan oleh sang empunya. Bahkan menurut sebuah riwayat sesepuh Sumenep, kereta itu tak pernah digunakan oleh sang Sultan. Sultan dikenal sebagai pribadi yang suka menjalankan laku tirakat dan hidup bersahaja. Bahkan tak jarang beliau menyepi dan bepergian tanpa ditandu.

Sultan juga dikenal sebagai pribadi yang menjauhkan diri dari keduniawian. Bahkan pernah dalam sebuah pertemuan para adipati di Jawa beliau menempatkan emas sebagai terompahnya, saat semua adipati yang menempatkan emas di atas kepalanya. Menurut cucu Bindara Saot itu, dunia sesungguhnya hina, jadi harus di bawah telapak kaki, bukan di atas kepala.

Red