Raden Werdisastra dalam karya monumentalnya, Babad Songennep (1914) mengabadikan pantun itu dan kisah kematian Pate Mangon. “Jimbrit baceng, kamarong kellana maronggi; Inggris dateng, Ke Mangon mate e Loji” (Jimbrit busuk, kamarong rebusan kelor; Inggris datang, Kiai Mangun mati di Loji).
Loji merupakan nama kawasan di sekitar Kecamatan Kalianget, Kabupaten Sumenep. Rencana awal, di sekitar itu memang akan dibangun sebuah loji, namun tidak jadi. Sehingga oleh orang Sumenep disebut Loji Kantang (loji yang mulai dibangun, tapi tak berlanjut).

Lalu, soal asal-usul Ke Mangon hanya bisa dijawab dengan analisa sejarah dan masih bersifat dugaan. “Kalau melihat namanya, Kiai Angabei atau Ngabei merupakan gelar bangsawan menengah di Jawa,” kata R. B. Muhlis, salah satu pemerhati sejarah Sumenep.
Seperti yang disebut di muka, masa Pate Mangon adalah masa bertahtanya Pangeran Natakusuma alias Panembahan Sumolo, generasi kedua dinasti Saot (1750-1929). Di masa itu pergolakan politik Sumenep sudah mulai mereda. Pergolakan yang dimulai dari beralihnya dinasti ke tangan Bindara Saot, putra Bindara Bungso alias Kiai Abdullah Batuampar hingga puncaknya dengan kematian Patih Purwonegoro.
Berlanjut pada keputusan raja bahwa siapapun keluarga dinasti sebelumnya yang kontra terhadap Bindara Saot, dipersilahkan kembali ke Pamekasan. “Dinasti sebelum Bindara Saut memang perpaduan trah Sumenep-Pamekasan, perpaduan darah Pangeran Yudanegara Sumenep dan Panembahan Ronggosukowati Pamekasan, ” kata Muhlis.
Sementara yang pro, diperkenankan tetap di Sumenep dengan menggunakan gelar Kiai dan menanggalkan titel Raden-nya. Otomatis banyak keluarga bangsawan, yang notabene sanak famili Ratu Tirtonegoro, isteri Bindara Saot, dipanggil “Ke”, tidak lagi “Radhin”.
Susunan pemerintahan juga masih diisi oleh kalangan bangsawan yang pro. Baru setelah masa Panembahan Sumolo, struktur baru, muncul. Seperti kalangan qodi atau penghulu negara, patih, menteri, jaksa, dan lain sebagainya, yang mulai bervariasi dan merupakan kombinasi antar beberapa trah.
Ada beberapa nama yang muncul, seperti Kiai Wiradipura, Kiai Demang Wangsanegara, Kiai Tumenggung Mangsupati, Kiai Angabei Mangundireja, Tumenggung Rangga Pratalikrama, Kiai Penghulu Zainal Abidin, Raden Panji Sastradipura, dan lainnya.
Selain Kiai Angabei Mangundireja, nama-nama lain itu berasal dari sanak famili Bindara Saut (sentana), baik yang Batuampar maupun Parongpong. Ada juga yang berasal dari kerabat di Lembung, tempat Bindara Saot mengaji dan mengajar di pesantren pamannya, Kiai Pekke (Faqih).
Dari nama-nama itu memang hanya Pate Mangon yang memiliki gelar Ngabei atau Angabei. Sehingga dugaan yang muncul beliau memang dari luar Madura. “Bisa jadi beliau kerabat isteri Panembahan Sumolo yang dari Semarang, yaitu keluarga Suroadimenggolo, ” duga Gus Muhlis.
Seperti disebut dalam sejarah, salah satu isteri Pangeran Natakusuma alias Panembahan Sumolo, yaitu Raden Ajeng Maimunah adalah Putri Pangeran Adipati Suroadimenggolo III, Semarang. Sang Raden Ayu ini juga ibunda dari Sultan Sumenep, Abdurrahman Pakunataningrat.
“Di masa setelah Panembahan Sumolo, bisa jadi merupakan periode kedua kiprah bangsawan Jawa di Sumenep, yang ditandai dengan hadirnya Kangjeng Kiai Adipati Suraadimenggolo V, pasca pembuangannya dari Ambon,” tambah Muhlis.
Bagaimana pun juga asal-usul Pate Mangon masih banyak menyisakan tanda tanya, dan tetap menarik untuk ditelusuri. Namun apapun dan dari mana beliau, sejarah telah membuktikan bahwa beliaulah martir pertama bumi Songennep yang gugur di ujung bedil penjajah.
Red