Serangan itu lantas dibalas oleh Patih Sumenep, Kiai Angabei Mangundireja dengan mengirim sejumlah pasukan barisan yang dipimpinnya langsung beserta seorang putranya. Pertempuran dahsyat pun meletus. Hanya saja perang tak seimbang, baik dari jumlah pasukan Sumenep sekaligus perlengkapan perang, yang kalah banyak dan modern dibanding milik pasukan Inggris.
Meski begitu, orang-orang Sumenep tak gentar dan tak takut mati. Mereka tetap bertahan meski banyak pasukannya yang gugur. Hingga puncaknya, Sumenep harus membayar mahal dengan nyawa putra terbaiknya. Sang Patih yang ksatria itu gugur beserta putranya, di kawasan bernama Loji. Tepat di Jumat pertama bulan Sya’ban, di tanggal 10 tahun 1725 berdasar kalender tahun Jawa.

“Kita harus mundur Kangjeng Rama,” kata pria muda pemberani yang tak tega melihat kondisi fisik ayahnya yang mulai lemah, dan terluka. Beberapa saat sebelum maut menjemput.
Yang diajak bicara tersenyum dengan bibir pucatnya. “Aku tahu kita tak bakalan menang. Namun kita mengulur waktu. Sampai Sang Ksatria sejati itu datang,” kata Kiai Patih.
Ksatria yang merupakan junjungannya itu memang akan datang, namun setelah ruh Patih ini melayang. Perjuangannya bertahan tak sia-sia, pasukan Inggris tak sampai menyentuh tembok keraton.
Gugurnya sang patih ini hampir bersamaan dengan datangnya Pangeran Natakusuma, yang langsung bertolak dari Semarang pasca menerima kiriman surat. Sayang, sesampainya di Saroka, pangeran yang dikenal keras itu datang terlambat.
Penguasa Sumenep yang alim dan pilih tanding itu sudah siap dengan sebilah pedang di tangannya, sementara pasukan Inggris buru-buru angkat kaki. Saat anak Bindara Saot itu sampai di Saroka, pasukan Inggris memang sudah naik ke atas kapal dan cepat berlayar. Mungkin karena mendengar kedatangan Pangeran Natakusuma.
Dikisahkan turun-temurun, kala itu Pangeran Natakusuma dalam keadaan sangat marah sehingga pedang yang dipegangnya itu tak bisa dibuka dari genggaman tangannya hingga 7 hari lamanya. Beliau merasa sangat kehilangan Patih Mangun, yang sangat dihormatinya dan dicintainya seperti orang tua sendiri.
Jenazah Kiai Ngabai Mangundireja atau yang menurut lidah orang-orang Sumenep disebut Pate Mangon dimakamkan secara militer dan mendapat penghargaan tinggi dari penguasa Sumenep. Hal itu bisa dilihat dari ornamen cungkup dan jirat makam beliau di kawasan Asta Tinggi Kebunagung.
Bisa dikata beliau pahlawan pertama dari dinasti terakhir yang menumpahkan darahnya demi bumi Jokotole. Sayang, generasi selanjutnya hingga sekarang banyak yang melupakan beliau, bahkan mungkin banyak yang sudah tak tahu kisahnya.
ASUL-USUL SANG MARTIR
Nama Pate Mangon, atau Ke Mangon atau Patih Kiai Angabei Mangundireja sudah lama terkubur bersama jasadnya. Sejarah lisan, cerita rakyat (folklore) hampir tak ada yang mengupas kiprahnya di dalam tembok Keraton Sumenep. Kecuali sebait pantun yang berisi info kematiannya yang tragis. baca halaman selanjutnya →