Kiai Faqih: Ulama Sufi Guru Bindara Saot

Situs Peninggalan K. Faqih

Sebagai seorang ulama sufi yang alim dan allama tentu tak mudah menghilangkan jejak situs peninggalan K. Faqih. Salah satu bukti bahwasanya kebesaran islam dan pesantren sudah ada sejak era tempo dulu. Di tempat inilah masih ada bukti sejarah berupa masjid Agung yang telah menjadi saksi sejarah K. Faqih  yang mendidik santri serta proses dakwah islamisasi pada masyarakat.

Masjid agung K.Faqih sudah mulai ada perubahan aslinya karena di gerus perkembangan zaman dan tuntutan kebutuhan masyarakat akan sarana ibadah. Tampak tulisan di tempat imam pada sisi dalam masih tampak asli dan jelas, arsitektur mimbar imam masih asli dengan bahan terbuat dari kayu jati serta pahatan kaligrafi lafadz arab masih terselip rapi. Namun pintu tempat imam tersebut ada orang yang mencuri.

“Mimbar itu dulu ada pintunya, terbuat dari kayu jati, Cuma hilang, dicuri. Lampu juga yang gantungan, juga hilang. Sekitar tahun 1975 an itu yang hilang. Tapi ceritanya yang ngambil pintu tersebut meninggal dengan kondisi badan yang hancur. Itu dicuri pas saat musim kemarua, yang mencuri itu justru “abdi dhelem” pelayan kyai. Cong Ini’ Namanya yang ambil dengan cara dipikul, sama orang dikira mikul jagung disuruh orand dhelem, jadi gak ada yang curiga. Permah dicari sampai ke Bali, tapi gak ditemukan juga,” terang Pak Muro.

Baca Juga:  Belajar Ragam Nisan Kuna Sebagai Warisan Sejarah

Di dalam masjid tampak 4 tiang berdiri kokoh dengan pahatan kayu jati terdapat pada bagian atas tiang sebagai penyangga bangunan masjid tersebut. Ornamennya begitu indah dan masih asli namun  tiangnya sudah di cor di dalam tiang beton karena terlalu pendek untuk menyanggah atap masjid, namun tetap utuh kayu tiang tersebut.

“Masjid ini udah dibangun, makanya bentuknya begini sekarang, dulu seperti musholla, hanya delapan meter persegi. Renovasi masjid ini memakan waktu selama tiga tahun. Dari 1997 selesai 1999. Karena biayanya memang swadaya masyarakat, dulu gak ada orang bikin bangunan disini. Saya sampai ke jember nyari uang buat renovasi masjid ini, ke Bondowoso, Pato’an pernah sampai sana. Ngemis beneran dulu. Tidak ada bantuan dari pihak manapun, asli sumbangan atau swadaya masyarakat. Tapi meski nyari ke daerah jawa orang yang diminta sumbangan untuk renovasi tetap orang Lembung asli yang menetap di luar Madura. Kalua bukan keturunan orang Lembung gak dimintai sumbangan,” terang Pak Muro.

Baca Juga:  Kiai Baroya: Penerus Estafet Perjuangan Kiai Faqih

Selain masjid ada juga bangunan  lain sebagai peninggalan K. Faqih berupa langgar kuno. Lokasi ada di timur laut masjid, langgar tersebut atapnya mirip dengan bangunan rumah pegon namun itu berbentuk langgar dengan 4 tiang kayu berdiri kokoh di tengah  langgar, serta kayu penyangga wuwungan masih terbuat dari kayu jati. Perubahannya  hanya pada gentengnya di ganti yang baru karena banyak yang sudah rusak dan lapuk. Cerita pak moro waktu itu.

“Kalau tiang kayu yang di dalam itu masih yang kuno, kuno semua itu. Kecuali tiang-tiang diluar ini, ini baru buatan jaman sekarang, baru lima tahun lalu tiang-tiang ini dibuat. Masjid ini lebih tua daripada masjid jamik di Sumenep itu, kalau masjid yang disana masih ada yang tau siapa yang bangun, kalau masjid ini gak ada yang tau, saking kunonya gak ada yang tahu siapa yang bikin, ini pada saat masa K. Pakke atau sebelum beliau sudah ada, itu gak ada yang tahu,” jelas Pak Muro sembari mengajak tim mamira bergeser tempat menuju asta K. Faqih yang terdapat dibelakang masjid.

Baca Juga:  Misteri Nama Asli Kiai Agung Nepa, Waliyullah dari Kampung Raden

Pasarean K. Faqih

Pasarean K. Faqih lokasinya terletak dibelakang masjid  Agung K. Faqih desa Lembung barat kecamatan Lenteng, Sebuah pusara kuno dengan posisi  letaknya paling barat, berjejer 3 buah makam kuno dengan bangunan cungkup masih berdiri kokoh dan sedikit mengalami perubahan aslinya. Maqburah K. Faqih berada dalam bangunan kuno dengan 4 tiang terbuat dari kayu jati serta tertutup kain kelambu pertanda sebuah kesakralan dan keagungan dari sang tokoh.

Dari ketiga asta tersebut hanya nisan asta K. Faqih yang terbuat dari marmer, sementara kijing sama dengan tiga asta lainnya. Nisan marmer tersebut merupakan penghargaan dari raja sebagai penguasa Sumenep kala itu.

“Bangunan tersebut sudah ada perbaikan pada bagian teras dan usuk karena sudah di makan usia, akan tetapi pada bagian dalam tampak masih asli dan kuno,” pungkas Pak Muro kepada tim mamira.

Jangan lupa tonton video ini:

 

Penulis: Abd. Warits

Editor: Mamira.id