Sebuah pernikahan tentu adalah salah satu cara guna menyambung tali silaturrahmi dan ikatan tali kasih antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Hal ini juga terjadi ketika masa hidup Kiai Agung Abbas. Beliau menikahkan putranya yang bernama Kiai Abdul Alim dengan sosok wanita muslimah berdarah Barangbang. Wanita tersebut bernama Nyai Tengginah, yang tak lain merupakan putri dari Kiai Ali Barangbang.
Pernikahan keduanya tergolong pernikahan kekerabatan. Sebab, di antara keduanya masih mengalir satu aliran darah dari Sunan Cendana, Kwanyar, Bangkalan. Keduanya bertemu di garis Sunan Cendana. Leluhur Kiai Abdul Alim yang bernama Sayyid Syits, bersaudara dengan Nyai Aminah Lembung, Bangkalan, yang tak lain adalah leluhur Nyai Tengginah dari jalur ibunya.
Pernikahan Kiai Abdul Alim dengan Nyai Tengginah dikaruniai putra yang bernama Kiai Daud. Kiai Daud menikah dengan Nyai Aisa, dan dikaruniai empat anak, yakni Kiai Muharrar, Kiai Fahrur Rozi, Kiai Yahya, dan Nyai Toan.
“Menurut cerita sesepuh, antara Ambunten dengan Barangbang itu sangat erat kaitannya. Sebab, keduanya diikat dalam sebuah perkawinan biar tidak terputus tali persaudaraannya di antara kedua daerah tersebut,” ujarnya.
Pasarean Kiai Agung Abbas
Pasarean Kiai Agung Abbas terletak Desa Tambak Agung Barat, Kecamatan Ambunten. Tepatnya di perbatasan desa, antara Tambak Agung Barat dengan Ambunten Tengah, yakni Kampung Komere. Pusara beliau masih terlihat orisinal, mulai dari kijing dan nisannya. Pahatan batu gunung bercampur batu putih tersebut memunculkan aura mistik tersendiri. Namun, tidak ada prasasti yang menunjukan tentang ahlil qabri.
Di dataran tinggi tersebut hanya terdapat asta Kiai Agung Abbas. Tidak ada pusara lain di dekat beliau. Namun tak jauh dari sana, tepatnya di sebelah barat daya, tampak pemakaman kuna berjejer rapi. Kondisi pemakaman tersebut tampak terlihat asli, dengan nuansa pemakaman Sumenep tempo dulu.
Selain maqbarah Kiai Agung Abbas yang masih tampak asli, di area tersebut juga terdapat batu besar tempat beliau bermunajat kepada Sang Khalik, serta sebuah tempat wudu yang terbuat dari batu (Madura baca: tambiu).
Sedangkan, batu tempat Kiai Abbas bermunajat, kini telah tiada, karena dibongkar oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Kini, hanya tinggal tambiunya saja.
“Menurut cerita sesepuh desa, yang membongkar batu tersebut mendapat semacam bala atau kutukan. Berupa hilang akal atau gila. Bahkan, keturunannya pun juga mengalami hal sama, gila juga,” terang Pak Syamsul Arifin.
Pusara Kiai Agung Abbas sekarang sudah dilengkapi dengan tempat mengaji atau tempat berdoa bagi para peziarah. Tempat tersebut dibalut dengan keramik dan area asta juga sudah dikelilingi pagar tembok setinggi satu meter.
“Kalau setiap malam Jum’at banyak orang yang berziarah. Terutama warga lokal. Bahkan, kadang dari luar Madura pun ada yang berziarah ke sini. Dan diyakini masih terkesan kemistikannya dan banyak orang yang terkabul apa yang dihajatkan. Dan memang tidak dibangun cungkup, karena beliau sepertinya tidak suka (Madura: Ta’ Kasokan). Sudah pernah dibangun cungkup, tapi selalu rusak alias roboh, ” pungkas kades Syamsul Arifin.
Jangan lupa tonton juga video Mamira.ID di youtube:
Penulis: Abd Warits
Editor: Mamira.ID