Mamira.ID – Se Malembung, demikian masyarakat Desa Pragaan Laok dan sekitarnya menyebut area pertanian yang berada di dataran agak tinggi dan terdiri dari beberapa petak tanah tersebut. Konon, penyebutan nama tersebut sudah terjadi sejak dulu melalui cerita turun-temurun masyarakat setempat. Tidak ada catatan pasti, kapan penyebutan nama itu dimulai.
Namun, jika dilihat dari lokasi area tanah yang berada di ketinggian, mungkin penyebutan lokasi Se Malembung sangat wajar, mengingat arti semalembung dalam bahasa Indonesia adalah yang menggelembung.
Se Malembung tidak bisa lepas dari tradisi rokat atau selamatan desa yang tiap tahunnya dilaksanakan di desa Pragaan Laok. Di mana sejak dulu hingga saat ini, lokasi rokat selalu di Semalembung, tidak pernah berpindah-pindah. Meski seringkali ada usulan dari masyarakat untuk memindahkan lokasi perayaan rokat.
Se Malembung, bagi masyarakat Pragaan Laok adalah area yang keramat dan mistis. Khususnya dalam pelaksanaan rokat desa. Segala kegiatan yang berkaitan dengan rokat, mulai pemotongan kambing, pengajian, pencak silat, hingga kerapan sapi lokal dilaksanakan di sana. Sebab keyakinan masyarakat, apabila dipindah atau ditiadakan, maka akan terjadi musibah di Desa Pragaan Laok khususnya.
Uniknya, di area Se Malembung ini tidak ada makam atau petilasan tokoh zaman dulu yang dikeramatkan. Namun, hanya beberapa petak tanah yang tidak terlalu subur yang terkadang tidak masuk akal dan menimbulkan pertanyaan “apa sih yang istimewa dari Se Malembung ini?”
Meski begitu, Se Malembung ini seolah-olah sudah menjadi trademark bagi masyarakat Desa Pragaan Laok dan sekitarnya. Karena setiap orang luar desa yang masih dalam lingkup satu kecamatan bertemu dengan masyarakat Pragaan Laok selalu bertanya “edimmana Se Malembung?” yang dalam bahasa Indonesianya “di sebelah mananya Semalembung?” Ketika menanyakan suatu lokasi atau posisi rumah seseorang, seakan-akan Pragaan laok itu Semalembung saja daerahnya.
Sumur Tanda’
Bergeser ke selatan dari Se Malembung dan masih di wilayah Desa Pragaan Laok, terdapat sumur yang penuh mistis dan juga dikeramatkan. Sumur tersebut menjadi tempat yang secara tidak langsung diwajibkan untuk disinggahi rombongan pemikul ‘ancak’ (tempat sesajen yang akan dilarung ke laut berbentuk perahu) dan tabuhan saronen.
Tabuhan saronen sebagai pengiring dari ‘ancak’ harus berhenti untuk tampil di sumur tersebut disertai sinden, atau dalam bahasa Madura disebut tanda’ sebagai bagian dari ritual dan hiburan untuk masyarakat. Di mana kemudian wilayah sekitar sumur itu menjadi sebuah kampung yang terkenal dengan kampung ” Mor Tanda’ ” singkatan dari somor tanda’.
“Somor Tanda’ ini sudah ada semenjak zaman kerajaan dahulu. Entah itu zaman raja siapa. Hanya yang jelas, keberadaan Somor Tanda’ ini bersamaan dengan adanya tujuh sumur di desa ini. Walaupun sekarang dari tujuh sumur itu hanya tersisa satu sumur saja. Jadi, nama Somor Tanda’ itu sendiri sudah ada sejak dulu. Entah sejak kapan, saya kurang tahu,” kata Bapak H. Imam Mahdi, SPd.I, selaku Kepala Desa Pragaan Laok saat ditemui tim Mamira.ID dan melakukan penelusuran ke daerah tersebut.
Selain penampilan tanda’ atau sinden, masyarakat di sekitar kampung tersebut tetap melakukan istigasah dan pengurasan air sumur, serta pembersihan area di sekitarnya, agar mata air tetap hidup dan masyarakat sekitar dijauhkan dari segala musibah serta diberikan kemurahan rezeki.
“Jadi, Se Malembung dan Somor Tanda’ ini adalah dua daerah yang tidak terpisahkan perannya dalam keberlangsungan ritual rokat desa di Pragaan Laok yang setiap tahun dilakukan sebagai bagian dari rasa syukur kepada Tuhan atas segala pemberian-Nya kepada masyarakat di sini,” pungkasnya.
Jangan lupa tonton juga video Mamira.ID di youtube:
Mamira.ID