Jindul: Minuman Jadul Madura yang Tetap Diburu Pecinta Kuliner

Mamira.IDTidak sah rasanya jika pergi ke suatu daerah tanpa mencoba atau mencicipi makanan khasnya. Termasuk jika berkunjung ke Madura. Pulau Garam memang tak hanya menyajikan sejuta keindahan ponarama alam yang mengagumkan, namun juga kulinernya yang beraneka ragam.

Dari empat kabupaten yang ada di pulau Madura, masing-masing memiliki destinasi wisata sekaligus kuliner yang berbeda-beda dan khas sebagai bentuk keanekaragaman di Madura. Dari sekian banyak sajian kuliner makanan khas yang menjadi simbol kebanggaan orang Madura secara umum adalah sate dan soto. Namun, selain makanan, ada juga kuliner berupa minuman tradisional yang khas dan menyegarkan.

Kali ini tim liputan Mamira.ID akan mengulas minuman jadul ini, namun masih diburu para pecinta kuliner.

Minuman tradisional ini punya rasa dan aroma yang khas dan tidak pernah berubah sejak tempo dulu. Maka tak heran, jika jindul atau cendol dalam bahasa Indonesia tetap disukai oleh semua kalangan, dari dulu hingga kini. Minuman tradisional ini memang masih tetap eksis di tengah serbuan minuman kekinian.

Baca Juga:  Asta Tinggi Bagian I: Cungkup Pangeran Panji Pulang Jiwa

Siapa yang bisa menolak nikmat dan segarnya kuliner jindul? Apalagi dinikmati saat cuaca panas seperti saat ini. Jindul merupakan makanan jadul yang berbahan dasar tepung beras dan kuah santan serta gula aren, orang menyebutnya “tangguli” sebagai pemanis. Biasanya, pada gula aren juga diberi irisan buah nangka untuk menambah aroma dan rasa khas pada jindul. Hidangan menu ini sering kali juga disajikan sebagai menu berbuka puasa saat bulan Ramadan.

“Saya sudah lama berjualan jindul. Bahan dan penyajiannya masih tradisional. Bahannya juga mudah. Hanya menggunakan tepung beras. Pewarnanya masih menggunakan air perasan daun pandan. Gulanya juga memakai gula aren. Termasuk saat memasak adonan jindul masih dengan cara tradisional, yakni menggunakan tungku dari tanah liat. Kayu bakar dan tungku dari tanah liat memberikan aroma tersendiri, apalagi saat membuat gula tanggulinya,” ujar Ibu Farihah, salah satu penjual jindul di Desa Ketawang Larangan, Kecamatan Ganding, Sumenep.

Baca Juga:  Nyai Ceddir: Ulama Perempuan Berkaromah Tinggi

Untuk menambah kecantikan warna, biasanya penjual membuat jindul berwarna-warni. Ada yang warna putih, warna hijau, dan warna merah. Meski demikian, bahan utamanya tetaplah menggunakan beras dan tepung sagu. Sementara, untuk pewarna yang dipakai menggunakan pewarna alami, yakni dari sari daun pandan dan beras aren untuk yang warna merah.

Ket.Foto: Jindul madura harganya sangat terjangkau, satu porsi jindul hanya Rp.2000. (Mamira.ID)

Proses pembuatan jindul sangatlah mudah. Tepung beras dicampur dengan air secukupnya dan diberi pewarna alami. Adonan tersebut kemudian dicetak dengan saringan jindul. Saringan yang digunakan untuk membuat jindul beraneka ragam, ada yang seperti gelas dan ada pula persegi empat agak memanjang.

Alat saringnya biasanya terbuat dari seng dengan lubang-lubang kecil. Ada pula yang terbuat dari anyaman bambu. Kemudian, adonan tersebut dituangkan ke dalam alat saringan sembari diayak di atas wadah yang berisi air mendidih. Sehingga, adonan yang keluar dari lubang-lubang kecil tadi langsung matang dan tidak lengket.

Begitu pula cara penyajiannya yang sangat mudah. Butiran-butiran jindul dituang ke mangkok kecil, kemudian disiram dengan kuah santan, dan yang terakhir dituang lelehan gula aren beraroma buah nangka.

Baca Juga:  Tali Kobal Poco’ Madura: Bahan Dasar Tas Rajut dan Suovenir Bali

“Sebagian pelanggan kadang ada yang menambahkan topping berupa tapai singkong. Aroma tapai singkong dan rasa manisnya menambah cita rasa jindul semakin nikmat, manis gula aren, aroma buah nangka, dan gurihnya santan menjadi satu dalam setiap tegukan, katanya sih begitu,” terang Ibu Farihah, menjelaskan pengalaman para pelanggan setianya.

Tekstur jindul itu sendiri berbeda dengan dawet. Bahannya juga berbeda. Hanya bentuknya yang nyaris sama. Warna dawet pun juga terlihat lebih transparan dibandingkan dengan jindul. Sementara, bentuk jindul juga terlihat lebih kecil dibanding dawet.

“Keluarga saya sudah turun-temurun menjual jindul. Dulu, nenek yang jual. Lalu diganti oleh ibu saya. Sudah generasi ketiga, saya jualan di sini. Jualan jindul sejak masih harga 50 rupiah semangkoknya. Sampai sekarang, harga jindul sudah 2000 rupiah,“ ucap Ibu Farihah sembari tersenyum.

Jangan lupa juga tonton video Mamira.ID di youtube:

Mamira.ID